JAKARTA - Presiden Joko Widodo mengaku dirinya jelas memikirkan masalah ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia. Hal ini menjawab kritikan dari Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia, Anwar Abbas, yang menyoal indeks gini rasio pertanahan yang menurutnya memprihatinkan.
"Ya, saya juga, dipikir saya enggak kepikiran? Gini Ratio waktu saya masuk 0,41 lebih. Kepikiran Bapak/Ibu sekalian. Gap seperti itu kepikiran. Jangan dipikir saya enggak kepikiran! Kepikiran. Karena saya merasakan, jadi orang susah itu saya merasakan betul," begitu kata Jokowi dalam sambutan Kongres Ekonomi Umat ke-2 MUI pada Jumat, 10 Desember lalu.
Jokowi pun kembali menyampaikan janji Reforma Agraria dan pencabutan semua HGU/HGB yang diterlantarkan pengusaha untuk dibagikan kepada pihak lain. Badan baru Bank Tanah, kata Jokowi, sudah siap menampung HGU/HGB terlantar tersebut.
“Jika bapak ibu sekalian ada yang memerlukan lahan dengan jumlah yang sangat besar silahkan sampaikan kepada saya, akan saya carikan, akan saya siapkan, berapa? Sepuluh ribu hektar, bukan meter persegi, hektar, lima puluh ribu hektar? Tapi dengan sebuah hitung-hitungan proposal yang visible, artinya ada visibility study yang jelas akan digunakan lahan itu akan saya berikan karena saya punya bahan," tuturnya.
Menanggapi pernyataan itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika memandang sumber masalah ketimpangan kepemilikan tanah dan konflik agraria di Indonesia adalah penguasaan tanah dalam skala luar biasa oleh korporasi perkebunan.
Kepemilikan ini difasilitasi pemerintah melalui penerbitan, perpanjangan, atau pembaruan Hak Guna Usaha (HGU), sekaligus pembiaran atas penelantarannya. Karenanya, Dewi menyebut pihaknya punya delapan catatan kritis kepada Jokowi.
Pertama, Dewi menganggap selama enam tahun Jokowi memimpin, belum ada langkah serius untuk menjalankan reforma agraria.
"Sepanjang 2015 sampai 2020, telah terjadi 2.291 letusan konflik agraria di seluruh provinsi, dimana sepanjang periode tersebut, penyumbang konflik agraria tertinggi adalah perusahaan perkebunan akibat HGU," ungkap Dewi dalam keterangannya, Kamis, 16 Desember.
Kedua, penertiban tanah terlantar atas HGU dan hak guna bangunan (HGB) sejak awal pemerintahan seharusnya sudah dilakukan dan menjadi prioritas penyelesaian secara konkrit dan sistematis oleh Jokowi.
"Sayangnya di masa Jokowi rencana redistribusi tanah untuk petani dan penyelesaian konflik agraria dari hasil penertiban tanah terlantar dan HGU bermasalah mengecil drastis menjadi 400 ribu hektar saja, itu pun macet dan tidak jelas pelaksanaannya enam tahun ini," ucapnya.
Ketiga, Jokowi, dalam pernyataannya, mencerminkan seolah pemilik tanah yang dapat begitu saja menerima pengajuan permintaan tanah skala besar, sejauh para pemohon tanah terlantar itu mempunyai visibility study yang jelas.
"Di sinilah letak persoalan krusial, karena yang akan mendapatkan tanah-tanah hasil penertiban tanah terlantar tersebut lagi-lagi kelompok yang mempunyai akses permodalan, menguasai teknologi, dan pasar. Artinya, kelompok elit bisnis, badan-badan usaha besar, elit politik kembali yang akan memonopoli tanah," jelas Dewi.
Keempat, Jokowi menyebut semua tanah terlantar akan dikumpulkan dan dimasukan dalam skema bank tanah (BT). Hal ini, menurut Dewi, Justru kembali menegaskan bahwa orientasi penertiban HGU/HGB terlantar bukan untuk rakyat kecil, melainkan kuat berorientasi bisnis dan keberpihakan kepada investasi besar.
"Seharusnya reforma agraria tidak disejajarkan dengan proses pengadaan tanah untuk orientasi bisnis dan investasi kakap," kata Dewi.
Kelima, ketika Jokowi ingin membereskan masalah ketimpangan kepemilikan tanah, ia harus menghentikan proses pemberian, perpanjangan, atau pun pembaruan HGU, yang selama ini berkutat di lingkaran pengusaha dan perusahaan.
Keenam, prioritas paling utama peruntukkan dari hasil penertiban tanah terlantar dan HGU-HGU bermasalah haruslah ditujukan untuk agenda penyelesaian konflik agraria struktural dan redistribusi tanah terlantar bagi kepentingan rakyat kecil.
"Presiden tidak diperkenankan mengobral kembali tanah terlantar bekas HGU/HGB, yang menjadi biang keladi ketimpangan dan kemiskinan kepada kelompok tertentu yang akan kembali menghasilkan ketimpangan struktur agraria," cecarnya.
Ketujuh, Dewi menganggap pmerintah harus mengarahkan pemikiran dan rencana aksinya tentang bagaimana penertiban tanah terlantar dapat mengurangi ketimpangan penguasaan tanah yang terjadi, ketimpangan akses modal, ketimpangan teknologi dan jaminan pasar yang dialami rakyat.
Kedelapan, lanjut dia, Jokowi perlu mengganti acara-acara penyerahan sertifikat tanah tersebut, dengan acara pelepasan dan pengeluaran desa-desa, kampung, sawah dan kebun produktif, ladang pengembalaan, tambak rakyat, fasilitas umum dan fasilitas sosial masyarakat dari klaim-klaim HGU/HGB telantar itu.
"Dengan begitu, upaya penertiban HGU-HGB terlantar, yang expired atau pun yang menyebabkan konflik agraria, betul-betul ditujukan untuk mengakui dan memulihkan hak-hak konstitusional rakyat atas tanah," pungkas dia.