Seberapa Parah Ketimpangan Kepemilikan Lahan Kita?
Presiden Joko Widodo (Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr)

Bagikan:

JAKARTA - Isu ketimpangan kepemilikan lahan tengah menjadi pembicaraan di ruang publik akhir-akhir ini. Diskursusnya memanas tatkala Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia, Anwar Abbas, turut menyoal indeks gini rasio pertanahan yang menurutnya memprihatinkan. Lantas seberapa parah ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia?

Dalam acara Kongres Ekonomi Umat II Mejlis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas melontarkan kritik "keras" kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Salah satu yang disampaikan Anwar dalam pidatonya yakni tentang indeks gini rasio pertanahan Indonesia yang ia sebut memprihatinkan yakni 0,59 persen.

"Artinya, 1 persen penduduk menguasai 59 persen lahan di negeri ini. Sementara yang jumlahnya 99 persen itu hanya menguasai 41 persen yang ada di negeri ini," kata Anwar.

Jokowi menjawab kontan pernyataan Anwar dalam sambutannya. Menurutnya, pemerintah dalam proses mendistribusi reforma agraria dengan target total mencapai 12 juta hektar. Saat ini, capaiannya sudah mencapai 4,3 juta hektare. Jokowi juga menyebut saat ini, pemerintah sudah sudah memiliki bank tanah, untuk mengambil HGU dan HGP yang ditelantarkan.

"Inshaallah bulan ini bisa saya mulai atau mungkin bulan depan akan saya mulai untuk saya cabut satu per satu yang ditelantarkan. Karena banyak sekali. Konsesinya diberikan, sudah lebih 20-30 tahun tapi tak bisa diapa-apakan. Sehingga kita tak bisa memberikan ke yang lain," kata Jokowi.

Jokowi bahkan menawarkan peserta kongres untuk datang padanya bila memerlukan lahan dengan jumlah yang sangat besar. Ia berjanji akan mencarikan lahan tersebut, namun dengan hitungan proposal yang feasible. "Kalau bapak ibu sekalian ada yang memiliki silakan datang ke saya, diantar oleh Buya Anwar Abbas."

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Anwar Abbas (Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr)

Sebelumnya, isu terkait penguasaan lahan juga sempat mencuat setelah cuplikan video viral tentang penguasaan lahan di Kalimantan Timur, wilayah yang nantinya bakal menjadi ibu kota negara (IKN). Video yang melaporkan kajian JATAM itu diunggah oleh Narasi.

Laporan JATAM mengungkap sejumlah nama yang menguasai sejumlah lahan di IKN yang total luas kawasannya mencapai 256.142 hektare. Misalnya saja ada nama Hashim Djojohadikusumo, adik Menteri Pertahanan Prabowo sekaligus Komisaris Utama PT. ITCI KU. Ia tercatat menguasai lahan konsesi seluas 173.395 hektare.

Lalu ada juga nama Sukanto Tanoto, pemilik saham PT. ITCI HM yang memiliki lahan seluas 161.127 hektare. Selain itu ada juga anak Politisi Setya Novanto, Rheza Herwindo, pemilik saham PT. Mutara Panca Pesona. Ada Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan, pemilik saham PT. Toba Group, dan Politisi, Yusril Ihza Mahendra.

Penguasaan lahan lewat konsesi perusahaan di IKN menurut Koordinator JATAM Nasional, Merah Johansyah, memastikan dan mengamankan investasi para oligarki. "Sebaliknya, suara masyarakat asli Suku Paser Balik diabaikan setelah ruang hidup mereka dirampas oleh PT ITCI saat masuk kawasan tersebut tahun 1960-an."

"Sebanyak 150 keluarga Paser Balik di Desa Pamaluan atau ring 1 IKN di Kabupaten Penajam Paser Utara ini kembali cemas karena keputusan Jokowi memindahkan ibukota tidak pernah meminta pendapat mereka. Bahkan, seketika diumumkan proyek ibu kota baru, PT ITCI Hutan Manunggal malah semakin beringas dengan cepat memperluas penguasaan lahan yang mengorbankan wilayah adat mereka," tertulis

Seberapa besar ketimpangan lahan? 

Salah satu cara mengukur ketimpangan adalah menggunakan rasio gini kepemilikan tanah. Seperti kita tahu, skala rasio gini antara 0-1 di mana semakin angkanya mendekati 0 maka semakin kecil tingkat ketimpangan.

Selama empat dekade, menurut data Badan Pusat Statistik yang dikutip dari Laporan Akhir Penelitian Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan Tanah (2019) yang dirilis Kementerian ATR, rasio gini kepemilikan tanah berfluktuasi pada rentang nilai 0,50-0,72. Nilai tersebut berada dalam kategori ketimpangan sedang dan tinggi.

Contohnya pada 2013, ketimpangan kepemilikan tanah mencapai 0,68. Artinya hanya 1 persen rakyat Indonesia menguasai 68 persen sumber daya tanah.

Sementara itu, pada 2020, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil menjelaskan indeks gini rasio kepemilikan tanah berada di 0,54-0,67. "Kepemilikan tanah di Indonesia tidak adil, karena sekelompok kecil kota banyak menguasai tanah," kata Sofyan dikutip Detik.

Menurut Sofyan, indeks gini rasio kepemilikan tanah di Indonesia masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan gini rasio tingkat pendapatan yang sudah berada di bawah 0,4. Pada prakteknya koefisien gini yang derajat ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, ketimpangan sedang berkisar antara 0,36 hingga 0,49 sedangkan distribusi relatif merata jika angkanya berkisar antara 0,20 hingga 0,35.

Ilustrasi (Unsplash/Koko Wicaksono)

Selain indeks rasio gini, pengukuran ketimpangan pemilikan tanah juga bisa dilihat dengan menggunakan metode kriteria Bank Dunia. Masih menurut Laporan Akhir Penelitian Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan Tanah (2019) yang dikutip VOI, perhitungan ketimpangan kriteria Bank Dunia memperhatikan besaran penguasaan aset 40 persen kelompok terendah terhadap keseluruhan aset yang dikuasai oleh semua kelompok.

Sederhananya begini, jika kelompok tersebut menguasai di bawah 12 persen aset maka ketimpangan terhitung tinggi. Jika mereka menguasai antara 12-17 persen aset maka ketimpangan tergolong sedang, dan apabila penguasaan asetnya lebih besar dari 17 persen maka ketimpangan berada dalam kategori rendah.

Hasil perhitungan dengan kriteria Bank Dunia dari data sekunder diketahui bahwa rataan ketimpangan berada pada kategori tinggi di semua provinsi di Indonesia. Dan apabila dilihat lebih spesifik, nilai ketimpangan tertinggi berada pada Provinsi Gorontalo sedangkan angka persentase ketimpangan terendah berada pada Provinsi Sulawesi Tengah.

Ketidakmerataan penguasaan atas tanah pertanian menyebabkan kemiskinan di desa khususnya bagi para petani. "Hak menguasai atas tanah yang lemah menyebabkan para petani kecil tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya," tertulis dalam Laporan Akhir Penelitian Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan Tanah.

Para petani yang menguasai sebagian tanah yang kecil berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara menyewakan ataupun menjual tanah yang mereka miliki. Hal ini mereka lakukan karena tanah yang mereka kuasai pun tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka dan mereka terpaksa menjadi buruh di tanah sendiri.

"Terjadinya ketidakmerataan akses penguasaan atas tanah ini menjadikan bertambahnya petani tidak bertanah. Dan mengakibatkan posisi umum petani ini termarginalisasi dari kehidupan sosialnya."

*Baca Informasi lain tentang SERTIFIKAT TANAH baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya