JAKARTA - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (Unbraw) sekaligus ekonom senior Indef Profesor Ahmad Erani Yustika menyarankan lima konsensus yang dapat diupayakan untuk mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan.
Dalam seminar dan peluncuran buku bertajuk Indonesia's Strategic Role In The G20 : Expert Perspectives di Jakarta, Kamis 27 Oktober, dia berharap negara yang tergabung dalam Presidensi G20 Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan kebijakan yang diimplementasikan nantinya, dapat menyelesaikan permasalahan pangan di tingkat global.
Adapun lima konsensus ini meliputi, pertama, konsensus kepemilikan faktor produksi; tanah dan modal, dimana saat ini ketimpangan kedua faktor ini telah menghambat jumlah dan kualitas produksi sektor pertanian, serta menghambat kesejahteraan yang memadai bagi para petani.
Dengan struktur kepemilikan faktor produksi seperti yang terjadi saat ini, menurut dia, sulit bagi Indonesia untuk mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan, sehingga ketimpangan kepemilikan lahan dan modal perlu segera diakhiri.
“Di mana, petani dalam posisi yang inferior. Sedangkan, pemilik modal dan pemilik lahan yang jumlahnya sangat kecil, akan mendapatkan nisbah ekonomi yang besar,” kata Erani, dikutip dari Antara.
Kedua, konsensus organisasi ekonomi; koperasi dan BUMDes, yang perlu dihidupkan kembali sebagai wadah untuk menguatkan posisi tawar petani dan membuat nisbah ekonomi yang besar jatuh kepada mereka.
Ketiga, konsensus skala ekonomi; kolektif dan skala kawasan, dengan menerapkan kegiatan ekonomi kolektif pada kawasan yang lebih luas, melalui beberapa desa dan kecamatan sekaligus, sehingga akan meningkatkan produktivitas pertanian.
“Kita tidak bisa lagi membiarkan petani memproduksi secara segmentatif, yang mengakibatkan produktivitasnya rendah,” kata Erani.
Keempat, konsensus nilai tambah; agroindustri, dimana membutuhkan kapasitas pengetahuan dan modal untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi di sektor pertanian.
BACA JUGA:
"Adanya faktor produksi, organisasi ekonomi, dan skala produksi yang sudah mapan. Baru bisa menjadi alas untuk melaksanakan konsensus nilai tambah,” jelas mantan Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi periode 2018 – 2019 ini.
Kelima, konsensus rantai pasok; digitalisasi, dimana masih banyak petani yang belum memiliki akses keterampilan untuk memanfaatkan digitalisasi sebagai instrumen penggerak ekonomi.
“Pelaku ekonomi di hulu disiksa dengan sekian panjangnya rantai pasok, yang mengakibatkan mereka semua akhirnya memperoleh bagian yang amat terbatas dari nisbah ekonomi,” tutur Erani.
Dia mengatakan lima konsensus ini penting sebagai upaya untuk memperjuangkan ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan di masa depan.