JAKARTA - Ketum Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid, menanggapi keputusan pemerintah dalam mengimpor beras sejak impor terakhir kalinya di tahun 2019.
Menurut Arsjad, keputusan ini tidak dipengaruhi oleh masalah produktivitas pangan di Tanah Air.
“Kalau kita lihat, tahun 2022 ini Indonesia malah surplus produksi. Berdasarkan perhitungan KSA (Kerangka Sample Area) BPS, surplus produksi 2022 sebanyak 31,93 juta ton beras. Artinya terdapat surplus 1,7 juta ton dari kebutuhan setahun sebesar 30,19 juta ton,” kata Arsjad dalam keterangan pers, Jumat, 30 Desember.
Arsjad mengatakan, keputusan impor ini didasari persoalan target beras cadangan, di mana stok beras Bulog hanya tercatat sebesar 399.160 ton hingga 21 Desember 2022.
“Jauh di bawah target cadangan beras pemerintah (CBP) sebesar 1,2 juta ton di akhir tahun 2022. Stok ini dianggap terlalu tipis untuk dapat membantu Perum Bulog melakukan tugasnya untuk memastikan kestabilan harga di pasar,” ungkapnya.
Karena kondisi tersebut, lanjutnya, pemerintah akhirnya memberikan lampu hijau kepada Bulog untuk mengimpor beras medium sebanyak 500.000 ton.
Menurut Arsjad, pembukaan keran impor ini dimaksudkan untuk memperkuat CBP hingga Januari atau Februari 2023.
Keputusan ini didasari harga beras domestik yang saat ini sudah di atas Harga Pokok Penjualan (HPP).
“Pertanyaannya, kenapa harga beras domestik mahal yaitu dengan harga rata-rata beras di penggilingan mencapai Rp10.300 per kilogram, bahkan lebih mahal dari harga beras impor yang berkisar Rp8.500 sampai Rp9.000 per kg? Isu ini yang harus diselesaikan oleh pemerintah,” ucap Arsjad.
Arsjad menilai, Indonesia sebenarnya memiliki potensi produksi pangan yang cukup baik. Badan Pangan Nasional mencatat ada surplus tahunan tahunan sekitar 1,7 juta ton di tahun 2022.
BACA JUGA:
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Mendag Zulhas) memastikan impor beras yang dilakukan pemerintah pada akhir tahun ini tidak akan berlanjut hingga panen raya pada Februari hingga Maret mendatang.
Zulhas mengatakan, impor beras sebanyak 500.000 ton akan tiba maksimal Januari 2023.
“Impor 200.000 ton dan 300 000 ton itu sampai Januari (2023). Impor 200.000 ton Desember (2022) tapi baru masuk 70.000 ton. Akan masuk lagi Januari (2023). Saya bilang sampai Januari. Februari, Maret jangan impor lagi karena mau panen,” kata Zulhas dikutip dari Antara, Selasa, 27 Desember.