Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan bahwa target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen pada RUU APBN 2023 kemungkinan besar mengalami koreksi penurun.

Pasalnya, situasi saat ini masih terus diliputi ketidakpastian yang berlanjut dengan pergeseran risiko utama dari pandemi ke sektor eksternal atau global.

“Tahun depan seperti yang disampaikan di dalam nota keuangan, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan di 5,3 persen. Meskipun kalau kita lihat secara hati-hati tahun 2023, ada tendensi revisi kebawah terhadap proyeksi ekonomi,” ujarnya dikutip pada Kamis, 1 September.

Menurut Menkeu, atas dasar tersebut postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 disusun dengan semangat optimisme dan penggunaan instrumen fiskal yang cukup prudent, namun tetap melihat risiko ketidakpastian yang mungkin meningkat.

“Maka satu tarikan nafas adalah optimis namun waspada. APBN akan tetap sebagai instrumen shock absorber dan memitigasi risiko, baik risiko terhadap pembiayaan maupun risiko dari sisi kenaikan cost of fund,” tuturnya.

Menkeu menambahkan, bahwa momentum pemulihan ekonomi saat ini berperan penting dalam mendorong penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, juga meningkatkan volume kredit usaha rakyat.

“Dari 285 sekarang tahun 2022, ditargetkan menembus angka Rp300 triliun bahkan mendekati ke Rp380 triliun. Tentu konsekuensinya subsidi bunga nanti juga akan meningkat,” ucapnya.

Kemudian untuk manufaktur dan perdagangan, juga diperkirakan masih akan cukup kuat. Begitu pula dari sisi penerimaan pajak diprediksi relatif stabil dan kuat meskipun dihadapkan pada ketidakpastian.

“Namun kita harus melihat sektor-sektor yang terkena scarring efek lebih dalam akibat pandemi seperti konstruksi, transportasi dan akomodasi mungkin baru akan mulai pulih secara cukup baik pada tahun 2023. Tentu kalau tidak terpengaruh oleh situasi Global yang memang masih sangat dinamis,” lanjut dia.

Sementara, tingkat suku bunga Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun diproyeksikan berada di angka 7,9 persen pada tahun 2023 seiring dengan risiko ketidakpastian pasar keuangan dan berlanjutnya pengetatan moneter global. Serta pergerakan harga minyak juga diprediksi masih sangat volatile namun cenderung menurun.

“Kenaikan suku bunga oleh Amerika, Eropa, dan Inggris pasti akan memberikan imbas kepada pasar obligasi global termasuk ke Indonesia. Sementara, pergerakan harga minyak yang volatile tahun depan mungkin dinetralisir dengan forecast pertumbuhan ekonomi yang relatif melemah atau soften,” tutup Menkeu Sri Mulyani.