Pemerintah Rancang APBN 2023 Tekor Rp598 Triliun tapi Dibilang Sehat, Kok Bisa?
Ilustrasi (Foto: Dok. Kemenkeu)

Bagikan:

JAKARTA – Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2023 beserta Nota Keuangan kepada DPR dalam sidang Tahunan MPR beberapa waktu lalu.

Dalam pidatonya, Kepala Negara menjelaskan bahwa pemerintah menganggarkan belanja negara sebesar Rp3.041,7 triliun yang meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.230 triliun dan transfer ke daerah Rp811,7 triliun.

Sementara untuk sektor pendapatan, diperkirakan mampu meraup angka Rp2.443,6 triliun. Artinya, jumlah belanja yang lebih besar ketimbang pendapatan membuat defisit APBN bertengger di posisi Rp598,2 triliun atau setara dengan 2,85 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Defisit anggaran tahun 2023 merupakan tahun pertama kita kembali ke defisit maksimal 3 persen terhadap PDB,” ujar Presiden Jokowi dikutip Senin, 22 Agustus.

Lantas, mengapa pemerintah merancang keuangan negara “besar pasak daripada tiang”?

Sebagai negara berkembang, kebutuhan anggaran pembangunan cenderung lebih tinggi dibanding sektor penerimaan. Adapun, selisih tersebut dipenuhi lewat sektor pembiayaan.

Defisit anggaran sebesar 2,85 persen terhadap PDB di tahun depan merupakan upaya penyehatan pertama yang dilakukan pemerintah sejak 2020.

Sebagaimana diketahui, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Keuangan Negara disebutkan pemerintah boleh memperlebar ruang defisit di atas 3 persen PDB hingga 2022 sebagai respon atas kondisi pandemi COVID-19. Kemudian, mulai 2023 ketentuan defisit harus kembali ke acuan awal, yakni di bawah 3 persen produk domestik bruto sebagai langkah penyehatan keuangan negara.

Dalam catatan VOI, realisasi defisit APBN pada 2020 adalah sebesar Rp947,70 triliun atau setara 6,14 persen PDB.

Lalu, untuk periode sepanjang 2021 pemerintah merencanakan defisit sebesar Rp1.006,4 triliun atau 5,7 persen PDB. Akan tetapi, realisasi hingga penutupan tahun dibukukan nilai yang lebih rendah Rp783,7 triliun atau 4,65 persen PDB.

“Komitmen untuk menjaga keberlanjutan fiskal dilakukan agar tingkat risiko utang selalu dalam batas aman melalui pendalaman pasar keuangan,” kata Presiden Jokowi.

Sementara untuk tahun ini, defisit dipatok Rp840,2 triliun atau 4,50 persen terhadap DPB. Akan tetapi, berkat kinerja moncer dari sisi komoditas dan pulihnya ekonomi nasional, maka hingga Juli 2022 postur APBN masih menorehkan surplus sebesar Rp106,1 triliun.

Pemerintah pun optimistis bahwa defisit APBN 2022 bisa lebih rendah dari target awal yang sebesar 4,50 persen terhadap PDB.

“Defisit akan dibiayai dengan memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan yang aman dan dikelola secara hati-hati, dengan menjaga keberlanjutan fiskal,” tegas Presiden Jokowi.