Bagikan:

JAKARTA – Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengungkapkan bahwa sektor perbankan saat ini masih berkutat pada permasalahan klasik struktural yang mengakibatkan adanya inefisiensi.

Menurut dia, hal ini terlihat dari data overhead cost dan net interest margin (NIM) perbankan Indonesia yang masih tinggi dibandingkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Kondisi tersebut menyebabkan tingkat suku bunga pinjaman yang lebih tinggi yang akhirnya menyebabkan perekonomian berbiaya tinggi.

“Padahal kalau biaya ini lebih rendah atau efisien maka bisa berdampak pada bunga kredit perbankan yang lebih rendah,” ujarnya saat menghadiri rapat kerja dengan Badan Legislatif DPR terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) dikutip Jumat, 19 Agustus.

Wamenkeu menambahkan, saat ini rata-rata tingkat suku bunga perbankan di dalam negeri berada di level 8,5 persen. Angka ini menjadi yang paling besar dibandingkan dengan Vietnam sebesar 7,8 persen, Malaysia 5,4 persen dan Thailand 3,4 persen.

Asal tahu saja, rerata bunga kredit perbankan saat ini dengan 8,5 persen sudah didukung oleh kebijakan Bank Indonesia yang menetapkan suku bunga acuan terendah sepanjang sejarah, yakni 3,5 persen. Sehingga, apabila bank sentral memutuskan untuk mengerek BI rate maka sudah bisa dipastikan tingkat suku bunga perbankan bakal lebih tinggi lagi.

Untuk itu, Wamenkeu sebagai representatif pemerintah terus mendorong adanya pembaharuan regulasi secara mendasar agar kinerja industri keuangan nasional dapat optimal.

“Kami kira sektor keuangan (bank) punya peran yang sangat penting sebagai sistem intermediasi (penghubung) dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.

Sebagai informasi, sektor perbankan masih mendominasi industri keuangan nasional dengan porsi di kisaran 80 persen. Sisanya, bisnis finansial didukung oleh asuransi, pasar modal, hingga pengelolaan dana pensiun.