Bagikan:

JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan jika penetapan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) adalah langkah strategis pemerintah dalam menyehatkan kembali Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Kita tidak ingin setelah pandemi COVID-19 ini kemudian meninggalkan masalah dalam APBN,” ujarnya ketika menjadi pembicara dalam Sosialisasi UU HPP di Gedung Sate, Bandung yang disiarkan secara virtual, Jumat, 17 Desember.

Menurut Menkeu, penyehatan APBN dilakukan secara terukur dan bertahap. Dalam pandangannya, hal paling prioritas adalah memastikan masyarakat untuk pulih terlebih dahulu dari sisi kesehatan, baru kemudian diikuti oleh aspek ekonomi.

“Lalu pada akhirnya adalah APBN menjadi sehat kembali. Untuk itu, pemerintah bersama DPR mendesain reformasi perpajakan yang tertuang dalam Undang-Undang HPP,” tuturnya.

Menkeu menepis anggapan bahwa setiap regulasi perpajakan sangat terkait dengan penambahan beban keuangan bagi masyarakat.

“Padahal, di harmonisasi ini banyak sekali pemihakan pada rakyat, terutama pada kelompok yang tidak mampu dan juga UMKM. Tidak mungkin Komisi XI DPR membiarkan pemerintah membuat policy yang membebani,” tegasnya.

Sebagai informasi, UU HPP terdiri atas sembilan bab yang memiliki enam ruang lingkup pengaturan, yakni Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), Pajak Karbon, serta Cukai. Atas masing-masing ruang lingkup memiliki waktu pemberlakuan kebijakan yang berbeda.

Dalam catatan VOI, kondisi kesehatan APBN kini terus mengalami perbaikan. Pada publikasi Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu disebutkan bahwa defisit anggaran hingga penutupan kuartal III 2021 adalah sebesar Rp452 triliun atau setara 2,74 persen PDB.

Jumlah ini masih jauh dibandingkan dengan target Rp1.006,4 triliun atau 5,7 persen PDB pada akhir tahun nanti. Malahan, Menkeu optimistis outlook defisit APBN hanya akan menyentuh level 5,1 persen hingga 5,4 persen PDB pada 31 Desember mendatang.

Sementara untuk periode 2022, angka defisit dipatok pada level 4,8 persen PDB atau setara Rp868 triliun. Artinya, kondisi kesehatan APBN berangsur pulih dengan beban ‘tekor’ yang semakin rendah.

Asal tahu saja, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara diamanatkan bahwa defisit APBN harus kembali ke level normal di bawah 3 persen PDB pada 2023 mendatang.