Kilas Balik APBN 2022: Surplus Sembilan Bulan Secara Beruntun Jadi Bekal Hadapi Gejolak 2023
Ilustrasi (Foto: Dok. Kemenkeu)

Bagikan:

JAKARTA – Perjalanan keuangan negara pada sepanjang 2022 didominasi oleh sejumlah cerita positif. Hal itu terekam dalam laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dilansir oleh Kementerian Keuangan.

Disebutkan bahwa instansi pimpinan Sri Mulyani itu memulai lakon apik pada Januari 2022. Kala itu, APBN mencatatkan surplus sebesar Rp28,8 triliun. Bukuan ini terjadi karena nilai pendapatan yang lebih tinggi Rp156 triliun dibandingkan dengan belanja sebesar Rp127,1 triliun

“Realisasi APBN sampai dengan 31 Januari 2022 mencatatkan surplus sebesar 0,16 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Ini jauh lebih baik dari periode yang sama 2021 yang saat itu defisit 0,27 persen dari PDB,” ujar Menkeu Sri Mulyani beberapa waktu lalu.

Berlanjut ke Februari 2022, surplus kembali terjadi walaupun nilainya melandai ke Rp19,7 triliun. Kata bendahara negara, capaian ini jauh berbeda jika kita bandingkan dengan Februari 2021 yang defisit Rp63,3 triliun.

Kemudian, di Maret 2022 pemerintah menginformasikan jika APBN berada di posisi surplus Rp10,3 triliun, hasil dari pendapatan yang sebesar Rp501 triliun dibandingkan belanja negara Rp490,6 triliun.

“Itulah cerita tentang APBN yang tentu jangan membuat kita terlena karena meskipun hasilnya sangat bagus namun risiko masih tinggi,” kata Menkeu.

Lalu, pada April 2022 postur APBN menorehkan hasil gemilang dengan lesatan surplus menjadi Rp103,1 triliun. Kinerja moncer ini tidak lepas dari kuatnya pendapatan negara yang ditopang oleh tren harga komoditas, aktivitas ekspor dan impor, kemudian pulihnya konsumsi rumah tangga.

“Kondisi APBN sangat baik. Kita akan menggunakan seluruh surplus ini untuk menjadi shock absorber dari guncangan yang terjadi sekarang, baik dari pandemi maupun komoditas,” tuturnya.

Pada periode Mei 2022 instrumen fiskal sukses mempertahankan tren surplus. Malahan, di bulan tersebut APBN semakin menguat dengan postur anggaran yang profit Rp132,2 triliun. Dijelaskan bahwa hal ini didukung pendapatan negara yang lebih besar dengan Rp1.070,4 triliun dari sisi belanja yang sebesar Rp938,2 triliun.

“Ini merupakan pembalikan yang luar biasa dari fiskal. Bayangkan pada Mei 2021 kita defisit Rp219,2 triliun,” tegas Menkeu.

Di penutupan semester pertama, atau tepatnya Juni 2022, nilai surplus APBN longsor ke angka Rp73,6 triliun. VOI mencatat, pada periode tersebut pemerintah mulai mengoptimalkan dana yang didapat untuk menahan guncangan harga akibat fluktuasi komoditas energi dan pangan.

“Kita perlu meningkatkan kehati-hatian terhadap keberlanjutan kenaikan harga komoditas ke depannya,” sambung Menkeu.

Memasuki paruh kedua, kondisi keuangan negara kembali masuk dalam tren surplus yang menanjak. Saat itu, APBN membukukan selisih positif Rp106,1 triliun di akhir Juli 2022 atau setara 0,57 persen dari PDB.

Bendahara negara menyatakan bahwa ini menjadi modal penting untuk menekan defisit anggaran dan diperkirakan akan lebih rendah dari target Perpres 98/2022 sebesar 4,5 persen PDB.

Geser ke periode Agustus, surplus ternyata belum putus. Malahan, nilainya bergerak naik meskipun tipis menjadi Rp107,4 triliun. Pada saat itu, pemerintah mulai sounding bakal membayar subsidi dan kompensasi kepada dua BUMN, yakni Pertamina serta PLN.

Di September 2022, surplus APBN kembali anjlok. Kali ini berkurang menjadi Rp60,9 triliun. Dalam penjelasannya, Menkeu menyebut bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh optimalisasi instrumen fiskal sebagai shock absorber, sehingga guncangan perekonomian tidak langsung diteruskan ke masyarakat.

“Di tengah beragam tantangan, kinerja APBN sampai dengan September 2022 tetap positif dan terkendali,” tegasnya.

Masuk Oktober, APBN mencatatkan defisit pertama setelah sembilan bulan berturut-turut menikmati ‘kemewahan’. Kementerian Keuangan melansir bahwa postur instrumen fiskal mengalami tekor Rp169,5 triliun.

Angka tersebut terjadi karena jumlah belanja yang lebih tinggi dengan Rp2.351,1 triliun dibandingkan dengan sisi pendapatan yang sebesar Rp2.181,6 triliun. Isu yang mencuat kala itu adalah pemerintah baru saja membayar kewajiban kepada pertamina dan PLN sebesar Rp163 triliun.

“Kinerja fiskal (yang kini defisit) akan mendorong kebutuhan pembiayaan di sisa tahun ini,” sebut dia.

Lebih lanjut, dalam laporan terakhir APBN yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani pekan lalu, terungkap bahwa defisit kembali melebarke Rp237,7 triliun atau 1,22 persen PDB. Angka ini merupakan rekapitulasi yang dihitung sampai dengan 14 Desember 2022.

Dalam keterangannya, Menkeu menyatakan bahwa realisasi defisit anggaran jelang penutupan tahun tergolong cukup baik dari estimasi awal APBN 2022 sesuai Perpres 98/2022.

“Defisit ini jauh lebih kecil jika dari indikasi atau rencana 2022, yaitu mencapai Rp840,2 triliun (4,5 persen PDB),” katanya.

Pemerintah sendiri optimistis APBN 2022 bisa ditutup dengan realisasi defisit anggaran sebesar 2,49 persen dari PDB. Jika benar terjadi, maka ini merupakan prestasi tersendiri mengingat pada tahun depan pemerintah memiliki mandatori untuk membawa defisit kembali ke level normal di bawah 3 persen setelah diperlebar akibat dampak COVID-19.

Sebagai informasi, struktur APBN memang disusun dan disahkan dalam kondisi tekor. Mengapa demikian?

Salah satu penjelasan utamanya adalah Indonesia sebagai negara berkembang membutuhkan anggaran yang cenderung lebih tinggi dibanding sektor penerimaan. Menteri Keuangan sendiri menegaskan bahwa hal itu wajar demi mengakselerasi pembangunan yang lebih kuat.

“Kinerja APBN yang secara umum cukup baik pada tahun ini akan menjadi bekal kita dalam menghadapi gejolak di 2023,” tutup Menkeu Sri Mulyani.