Sri Mulyani Senewen APBN Pontang-panting Tambal Defisit Rp548 Triliun, Daerah Malah Surplus Rp111 Triliun karena Tahan Belanja
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (Foto: Dok. Kemenkeu)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani nampak memberikan teguran keras kepada pemerintah daerah (pemda) yang dianggap lamban dalam merealisasikan belanja. Menurut Menkeu, kondisi tersebut menghambat upaya pemulihan ekonomi yang kini tengah digencarkan oleh pemerintah pusat.

Dalam catatannya, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dalam APBN 2021 tidak kurang dari Rp795 triliun. Disebutkan jika mayoritas dana tersebut sudah masuk ke kantong pemerintah daerah karena saat ini telah memasuki periode penutupan tahun. Adapun, nilai akumulasi belanja pemda yang masih belum terlaksana adalah sebesar Rp111,5 triliun.

“Bayangkan ini sudah bulan November, artinya tinggal satu bulan lebih sedikit (untuk bisa merealisasikan belanja) karena kita biasanya tutup tahun anggaran belanja terakhir itu adalah pada 24 Desember,” ujarnya ketika berbicara di forum Kongres Asosiasi Auditor Intern Pemerintah 2021 yang disiarkan secara virtual, Selasa, 23 November.

Upaya pemerintah pusat untuk mencukupi dan memenuhi kewajiban dalam APBD berbanding terbalik dengan kondisi APBN yang ‘berdarah-darah’. Dijelaskan bendahara negara jika hingga 31 Oktober 2021 defisit anggaran berada di angka Rp548,9 triliun.

APBN yang tekor ratusan triliun itu disebabkan oleh sisi belanja negara (termasuk TKDD) yang lebih besar dengan Rp2.058,9 triliun dibanding sektor pendapatan Rp1.510 triliun. Defisit ini sendiri ditambal lewat pembiayaan (utang) melalui sejumlah instrumen keuangan.

“Ini artinya pemerintah pusat yang sedang melakukan usaha untuk mendorong pemulihan ekonomi countercyclical dengan defisit yang mencapai Rp540 triliun, namun daerah justru menahan belanja atau belum bisa belanja sehingga terjadi surplus mencapai Rp111,5 triliun,” tuturnya.

Lebih lanjut, Menkeu mengungkapkan serapan anggaran daerah tertinggi ada pada Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan persentase masing-masing 66 persen. Sementara daerah dengan realisasi belanja APBD terendah terjadi di Maluku dengan level 39 persen.

Untuk itu, Menkeu mendorong terciptanya sinergi kuat antara pusat dan daerah melalui eksekusi belanja yang seirama agar target-target pertumbuhan bisa segera dicapai.

“Ini bukti efektivitas dalam kebijakan APBN pusat dan daerah belum sinkron, dimana pusat mendorong tetapi daerahnya justru berhenti atau dalam hal ini meredam. Kondisi demikian tentu dampaknya pada perekonomian menjadi tidak optimal,” tutup Menkeu Sri Mulyani.