Bagikan:

JAKARTA - Situasi ketidakpastian yang berlanjut membuat proyeksi ekonomi dunia masih berada dalam tren negatif. Beberapa lembaga keuangan internasional bahkan memilih untuk mengoreksi ke bawah target pertumbuhan global.

Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) misalnya, yang merevisi laju gross domestic product (GDP) dunia dari 3,6 persen ke 3,2 persen untuk tahun ini. Angka tersebut kemudian menyusut lagi jadi 2,9 persen untuk 2023.

Sejatinya, dunia sedang tidak baik-baik saja. Demikian kalimat yang kerap diucapkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.

“Di lingkungan ekonomi global pasca dua tahun pandemi COVID-19, situasinya tidak baik-baik saja. Pertama terjadi disrupsi sisi suplai, artinya distribusi barang tidak lancar dan belum normal lagi,” ujar Menkeu saat memberikan pemaparan kepada awak media pada Kamis, 12 Agustus.

Menurut dia, hal tersebut berdampak pada terhambatnya pemenuhan kebutuhan yang sudah berangsur pulih karena mobilitas menuju tren normal.

“Permintaan masyarakat tidak mampu dipenuhi oleh sisi produksi karena setelah dua tahun terkena pandemi ternyata normalisasi produksi tidak begitu saya terjadi,” tuturnya.

Keadaan ini kemudian menjadi lebih pilik tatkala timbul ketegangan politik di berbagai belahan dunia.

“Lalu muncul kondisi geopolitik yang eskalatif, yaitu terjadi perang di Ukraina. Malahan sekarang ketegangan melonjak tinggi di Taiwan. Ini semua pasti akan menimbulkan tambahan risiko pada disrupsi sisi suplai,” jelas Menkeu.

Bendahara mengungkapkan pula jika banyak negara yang terus berbenah untuk mengendalikan perekonomian nasional.

“Di sisi lain, seluruh negara selama pandemi melakukan countercyclical melalui stimulus fiskal dan moneter sehingga permintaan mulai pulih selama 2021 dan 2022. Akan tetapi dengan adanya disrupsi pada sisi suplai akibat pandemi dan sekarang masalah perang (geopolitik) sementara demand side-nya meningkat, maka terjadilah inflasi yang melonjak sangat tinggi,” jelas dia.

Sialnya, langkah ‘beres-beres” ini diyakini menimbulkan sentimen negatif secara global, utamanya yang berasal dari negara maju ke negara berkembang.

“Seperti di Amerika Serikat dan negara Eropa, inflasi sekarang adalah yang tertinggi sejak 40 tahun terakhir. Atas inflasi bergejolak ini maka dilakukan respon kebijakan moneter melalui pengetatan likuiditas dan menaikan suku bunga,” ucap Menkeu.

“Tindakan tersebut jelas menimbulkan efek spillover (rambatan) ke berbagai negara yang menjadikan volatilitas pasar keuangan melonjak, capital outflow terjadi di negara berkembang dan emerging serta menekan nilai tukar termasuk rupiah,” sambung dia.

Alhasil, terjadi pembengkakan jumlah kewajiban yang mesti ditanggung oleh pemerintah atas utang yang dimiliki.

“Apabila nilai tukar menjadi tertekan pasti meningkatkan cost of fund atau lonjakan biaya utang,” tegasnya.

Sebagai contoh Menkeu lantas memberikan gambaran mengenai ancaman krisis keuangan bagi negara yang sedari awal telah memiliki jumlah utang tinggi. Beruntungnya, RI masih memiliki utang yang relatif terjaga di kisaran level 40 persen dari produk domestik bruto (PDB)

“Negara-negara yang sebelum pandemi dan kemudian selama pandemi kondisi keuangannya mengalami pemburukan pasti bebannya lebih tinggi. Jika mereka sudah ada tekanan utang tinggi 60 persen atau bahkan mendekati 100 persen dari PDB-nya, pasti menghadapi ancaman yang lebih hebat dari faktor nilai tukar dan lonjakan biaya (cost of fund) tadi,” jelasnya.

Oleh karena itu, dunia sedang dihadapkan pada kerawanan stagflasi (inflasi tinggi yang disertai perlambatan ekonomi) dan ini telah menjadi momok tersendiri di berbagai negara dunia.

“Adanya keuangan negara yang lemah dengan inflasi yang tinggi, lalu ada pengetatan moneter tentu berdampak pada pelemahan pertumbuhan. Kombinasi ini sangat rumit dan berbahaya bagi policy maker dan perekonomian kita,” tutup Menkeu Sri Mulyani.