Petani Sawit Curiga Ekspor CPO Sulit Hanya Alasan Pengusaha untuk Tekan Harga TBS
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mencurigai adanya permainan yang sengaja dilakukan pelaku ekportir untuk membuat harga tandan buah segar atau TBS petani terus tertekan.

Permainan yang dimaksud adalah sengaja membuat isu ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah belum lancar.

Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung menilai, hal tersebut hanya dalih para pengusaha untuk menekan harga TBS sawit ditingkat petani.

Sebab, pada kenyataannya ekspor CPO saat ini justru meningkat.

"Dibuat frame, ekspor belum jalan, ekspor belum jalan. Ini adalah cara masif daripada mereka yang ingin beli TBS kami secara murah," ujarnya dalam acara CNBC, Senin, 25 Juli.

Seperti diketahui, larangan ekspor CPO dimulai pada tanggal 28 April 2022 dan dicabut per 23 Mei 2022.

Gulat mengakui ekspor CPO dan turunanya pada April mencapai 2,58 juta ton atau turun 20 persen secara tahunan (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Lalu memasuki bulan Mei, ekspor masih berlanjut meksipun kecil yakni 1,01 juta ton atau turun 67 persen yoy. Namun pada Juni, ekspor kembali meningkat menjadi 2,91 juta ton atau naik 28 persen yoy.

"Artinya apa, ekspor lancar, enggak jelek-jelek banget, tapi frame yang dibangun ini adalah frame untuk membuat kami petani sawit selalu terpuruk harganya. Bagaimana caranya, teorinya, pihak eksportir akan mengatakan ekspor tidak lancar," ucapnya.

Gulat menduga pihak eksportir sengaja menyampaikan bahwa ekspor tidak lancar alhasil pabrik pengolahan CPO akan merespons dengan menekan harga TBS di tingkat petani agar harga jual CPO juga bisa ditekan.

Lebih lanjut, Gulat menjelaskan, harga CPO sempat menyentuh Rp8.000 per kg dari rata-rata harga internasional sekitar Rp15.000 per kg dengan harga itu TBS petani hanya ditawar seharga Rp1.100 per kg.

"Kan semua ini berdampak sistemik. Makannya saya sangat-sangat menyesalkan ketika informasi ini digoreng-goreng. Ekspor tidak berjalan lancar, tapi data ini menunjukkan bahwa ekspor berjalan, maka ini saya sebut sudah permainan," jelasnya.

Kata Gulat, dugaan permainan ini dikuatkan dengan faktor lainnya. Setelah pemerintah menghapus pungutan ekspor sawit sebesar 200 dolar AS per ton nyatanya harga CPO maupun TBS petani tetap tidak terdongkrak.

Berdasarkan hitungan Apkasindo, penghapusan pungutan ekspor atau PE seharusnya memberikan dampak pada kenaikan harga CPO sebesar Rp3.000 per kg dan TBS Rp1.000 per kg.

Namun, nyatanya, harga TBS hanya terdongkrak sebesar Rp250 per kg, sementara CPO tetap di kisaran Rp9.000 per kg.

"Harusnya harga TBS kami hari ini adalah Rp2.450 kalau menghitung berapa dikurangi beban PE. Tapi mengapa kami terima cuma Rp1.000-Rp1.250 sampai hari ini, setengah dari yag seharusnya. Itu lah yang tadi dibuat frame, ekspor belum jalan. Ini adalah cara masif daripada mereka yang ingin beli TBS kami secara murah," tuturnya.

Sementara itu, Plt Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) sekaligus Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan bahwa saat ini para pelaku usaha masih kesulitan untuk melakukan ekspor.

"First half 2022 kita itu short 38 persen di bawah rencana ekspor. Kok dia bilang ribuan dari mana? wong kita juga pelaku usaha masih mengalami kesulitan untuk PE (persetujuan ekspor)," katanya.

Karena itu, Sahat menyarankan agar kebijakan domestic market obligation (DMO) bisa segera dicabut agar ekspor menjadi lancar. Apalagi saat ini adalah puncak musim produksi sawit.

"Untuk percepatan ekspor itu saya sangat memdukung apa yg disampaikan Pak Menteri (Perdagangan), hilangkan DMO. Untuk batu bara mungkin bisa jalan karena pemainnya cuma satu, PLN. Kalau ini kan ratusan pemainnya," jelasnya.