Menyoal Larangan Ekspor CPO, Anggota Komisi VII DPR: Pemerintah Jangan Plin-plan
Tanda Buah segar (TBS) kelapa sawit di Jambi. (Foto: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengingatkan kebijakan pemerintah melarang ekspor CPO dan turunannya harus diikuti dengan kebijakan pembelian Tandan Buah Segar (TBS) sawit oleh pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan lembaga terkait.

Mulyanto menegaskan, upaya tersebut perlu dilakukan agar hasil panen petani sawit rakyat tetap tersalurkan ke industri yang membutuhkan, sehingga harga jual TBS tetap terjaga.

Dalam keterangannya, Mulyanto menyebutkan pemerintah harus membuat kebijakan yang terintegrasi, terkait satu sama lain agar tidak ada pihak yang dirugikan atas pemberlakuan sebuah kebijakan.

“Terkait pembelian TBS sawit oleh pemerintah hal ini sangat dimungkinkan. Karena saat ini pemerintah sedang gencar memproduksi biofuel. Jadi tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak membeli hasil panen sawit rakyat. Mereka sudah tidak tahan lagi menanggung beban atas anjloknya harga TBS sejak Presiden Jokowi mengumumkan pelarangan ekspor CPO dan turunannya," ujar Mulyanto dalam keterangan kepada media, Rabu 18 Mei.

Mulyanto tak memungkiri pemerintah memang menghadapi kondisi yang dilematis.

Namun demikian, ia meminta pemerintah jangan takluk terhadap mafia minyak goreng (migor) dan pengusaha nakal lalu tunduk mencabut kebijakan larangan ekspor CPO tersebut.

"Pemerintah jangan plin-plan dengan kebijakan larangan ekspor CPO. Harga migor curah masih bertengger di angka Rp19.100 per kg jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp15.500 per kg. Karena itu, saya mendesak pemerintah segera menolong nasib para petani sawit rakyat dengan memberikan insentif. Apalagi pandemi belum berakhir dan daya beli mereka masih lemah,” ujar Mulyanto.

Menurut dia, insentif penting untuk meringankan petani sawit rakyat adalah dengan menyerap produk TBS dengan harga wajar. Misalnya dengan membeli dan mengolah biofuel yang bersifat mandatori dari sawit rakyat serta insentif pupuk.

“Selain itu, BUMN Perkebunan dan anak perusahaan yang mengolah hasil perkebunan harus didorong pemerintah untuk meningkatkan serapan produk TBS petani sawit rakyat. Langkah ini akan cukup membantu para petani sawit rakyat selama masa pelarangan ekspor CPO,” pungkasnya.

Sekadar diketahui, dari data Kementerian Pertanian, pada tahun 2019 luas lahan sawit rakyat sebesar 5,9 juta hektar atau sekitar 41 persen dari luas total lahan sawit nasional.

Adapun lahan BUMN hanya sebesar 4 persen, sisanya sebesar 55 persen adalah lahan sawit dari swasta besar. Dengan kebijakan pelarangan ekspor CPO dan turunannya, maka proporsi sawit rakyat yang terdampak cukup besar.

Tak berselang lama usai kebijakan dari Presiden Jokowi melarang ekspor CPO dan seluruh turunannya diumumkan pada 22 April, harga TBS kelapa sawit dari petani rakyat langsung anjlok.

Harga TBS petani hari ini hanya mencapai Rp1.200 per kg.

Apalagi untuk TBS dari petani yang non-kemitraan. Jauh dari sebelumnya di mana buah sawit petani dihargai Rp3.600 sampai Rp4.000 per kg.