JAKARTA - Lembaga riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebut bahwa capaian pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2022 yang sebesar 5,01 persen year on year (yoy) menggambarkan tren pemulihan yang terus membaik.
Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto mengatakan torehan ini membuat RI bertengger di peringkat empat dari daftar negara G20 yang mencetak pertumbuhan ekonomi tertinggi. Adapun tiga tempat teratas diduduki oleh Arab Saudi dengan 9,60 persen, Italia sebesar 5,80 persen, dan Prancis dengan 5,30 persen.
“Ini belum termasuk sembilan negara yang sampai saat ini belum menyampaikan laporan ekonominya, seperti India, Rusia, Kanada, Afrika Selatan, dan lain-lain,” ujar dia dalam webinar hari ini, Senin, 11 Mei.
Menurut Eko, sejauh ini level pertumbuhan yang dicapai Indonesia masih tergolong bagus. Akan tetapi, dirinya memberikan beberapa catatan penting yang bisa menjadi pelajaran agar konsistensi kinerja bisa diteruskan hingga penghujung tahun nanti.
Pertama, macetnya mesin pertumbuhan ekonomi dari komponen konsumsi pemerintah. Diungkapkan Eko jika penopang utama hasil moncer di awal 2022 adalah karena komponen ekspor (16,22 persen), konsumsi rumah tangga (4,34 persen), dan investasi (4,09 persen).
“Sementara itu, komponen konsumsi Pemerintah mengalami perlambatan minus 7,74 persen yoy,” tuturnya.
BACA JUGA:
Kedua, low base effect komponen konsumsi rumah tangga membuat laju pertumbuhan konsumsi tetap positif di tengah tekanan kenaikan harga-harga yang menghimpit.
“Pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 4,34 persen tidak lepas dari rendahnya pertumbuhan konsumsi di periode triwulan I 2021 sebesar negatif 2,21 persen. Sehingga, laju konsumsi tetap positif meskipun sepanjang triwulan I 2022 terdapat sejumlah kenaikan harga bahan pokok,” ucapnya.
Tiga, pertumbuhan komponen impor melaju kencang, risiko defisit perdagangan bisa kembali terulang.
“Komponen impor tumbuh 15,03 persen. Ini membuat laju pertumbuhan impor cukup kencang dan dapat memupus surplus neraca perdagangan yang sudah terjadi dalam 23 bulan terakhir apabila tidak diwaspadai,” katanya.
Meski demikian, Eko menilai ada beberapa indikator positif yang perlu dipertahankan. Tingginya harga komoditas global menjadi windfall yang mengatrol kinerja ekspor.
“Tingginya harga komoditas ekspor menjadi berkah bagi perekonomian Indonesia di tengah paceklik kinerja konsumsi pemerintah yang hanya setengah hati,” tutup dia.