Bagikan:

JAKARTA – Pemerintah boleh sedikit berbangga dengan capaian indikator ekonomi makro terbaru yang menunjukan hasil memuaskan. Pada awal pekan ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis informasi pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu menembus angka 5,72 persen year on year (yoy) di kuartal III 2022.

Torehan tersebut menjadi yang tertinggi pada sepanjang tahun setelah sebelumnya di kuartal I tumbuh 5,01 persen dan kuartal II 5,4 persen. Asal tahu saja, capaian terakhir yang diraih melanjutkan konsistensi pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen dalam empat kuartal berturut-turut.

Hasil ini jelas melampaui sejumlah negara raksasa G20, semisal China yang hanya mampu tumbuh 3,9 persen, Amerika Serikat 1,8 persen dan kawasan Uni Eropa dengan 2,4 persen.

Kuatnya struktur produk domestik bruto (PDB) RI tidak bisa dilepaskan dari kinerja perdagangan luar negeri yang masih tetap mencatatkan surplus. Hingga September lalu, nilai surplus neraca perdagangan berhasil menyentuh 4,99 miliar dolar AS. Kondisi tersebut memperpanjang rekor surplus yang telah berlangsung sejak Mei 2020.

Dari sisi inflasi, Indonesia tergolong sukses melakukan pengendalian dengan data terakhir di Oktober 2022 adalah sebesar 5,71 persen yoy. Level itu diklaim Bank Indonesia jauh di bawah ekspektasi sebelumnya yang sebesar 6,1 persen.

Satu hal yang menarik adalah dampak signifikan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ternyata hanya terjadi pada periode September yang membuat inflasi melonjak hingga 5,9 persen. Keadaan mulai ternetralisir secara cepat pada Oktober dengan indikasi melandainya inflasi.

Sebagai pembanding, beberapa negara G20 bahkan mengalami inflasi yang lebih hebat, seperti AS 8,2 persen, Turki 83,5 persen, Inggris 8,8 persen, serta Jerman 9,0 persen.

Beralih ke fiskal, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan bahwa sampai dengan trimester ketiga 2022 postur APBN masih menunjukan performa gemilang dengan surplus Rp60,9 triliun.

Hasil itu didapat setelah realisasi pendapatan negara yang lebih tinggi Rp1.974,7 triliun dibandingkan sektor belanja yang sebesar Rp1.913,9 triliun.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebut moncernya APBN jelang tutup tahun tidak lepas dari dua faktor utama. Pertama, windfall revenue dari sisi komoditas dengan penguatan harga yang melambung tinggi.

Kedua, pemulihan ekonomi nasional terus menguat. Indikasi ini dapat dilihat dari melesatnya penerimaan perpajakan dan PNBP yang masing-masing tumbuh 49 persen dan 34 persen. Lonjakan tersebut dapat berarti bahwa kegiatan produktif dan dunia usaha di Indonesia semakin kencang.

Atas capaian tersebut Presiden Jokowi semestinya bisa lebih percaya diri dalam menyambut 39 tamu negara di KTT G20 yang terdiri dari 20 negara anggota, sembilan negara undangan, dan 10 lembaga dunia.

“Ekonomi kita tampil impresif dan punya performa yang baik dalam memimpin G20 sehingga membuat posisi Indonesia semakin diperhitungkan,” kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto awal pekan ini.