KTT G20 Diharapkan Hasilkan Kesepakatan Konkret Atasi Masalah Krisis Pangan Global
Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Krisis pangan menjadi salah satu bahasan utama dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada pertengahan November mendatang. Pertemuan kepala negara di forum KTT G20 diharapkan menghasilkan kesepakatan untuk mengantisipasi krisis pangan global di tengah berbagai tantangan, mulai dari konflik geopolitik maupun isu kerawanan pangan

Ekonom INDEF Andry Satrio Nugroho mengatakan dalam working group pertanian G20, sudah dibahas beberapa hal krusial tentang pangan dunia. Karena itu, diharapkan membawa hasil yang konkrit bagi masyarakat dunia.

"Memang mereka sudah berkomitmen untuk bersama-sama setidaknya punya urgensi terkait krisis pangan, karena salah satu persoalan krisis pangan yaitu nutrisi dan kemiskinan," katanya di Jakarta, Jumat, 11 November.

Dari pertemuan tersebut, kata Andry, Agriculture Working Group G20 sepakat untuk mempromosikan terciptanya sistem pangan yang berkelanjutan dan tangguh.

"Jadi ketika ada krisis baru, bisa setidaknya bertahan. Ketangguhan pertanian dan sistem pangan menjadi hal penting," kata Andry.

Beberapa inisiatif global telah diluncurkan oleh organisasi regional, internasional, dan bahkan secara mandiri oleh beberapa negara untuk menghadapi permasalahan ketahanan pangan, seperti the UN Global Crisis Response Group (GCRG), the G7 Global Alliance for Food Security (GAFS), the Global Agriculture and Food Security Program (GAFSP), International Finance Institutions Action Plan, dan Global Development Initiative.

"Agriculture ministerial negara G20 pengen adanya praktek perdagangan pangan yang setidaknya bisa terbuka, transparan tidak mendiskriminasi dan bisa menciptakan komoditas pangan yang tersedia dan bisa dijangkau oleh seluruh negara," sebut Andry.

Andry juga mendorong organisasi internasional terkait untuk memonitor implementasi hasil hasil kesepakatan tersebut.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan Indonesia akan menjadi perhatian dunia dalam penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Nusa Dua, Bali, pada 15-16 November ini. Hal itu tidak terlepas dari performa perekonomian Indonesia dalam kondisi yang baik untuk memimpin G20.

"Dari segi recognition, Indonesia akan menjadi perhatian dunia," kata Menko Airlangga.

Ketum Golkar itu menjelaskan ekonomi Indonesia tumbuh impresif sebesar 5,72 persen (yoy) pada Kuartal III-2022 pada saat G20 Indonesia berlangsung. Pemerintah juga berhasil menekan tingkat inflasi menjadi 5,7 persen. Selain itu, Indonesia juga akan memegang keketuaan ASEAN.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan capaian Indonesia itu membuktikan ekonomi lebih resilien dibanding negara maju atau negara besar lain. Meski demikian, Faisal menekankan untuk lebih mewaspadai masa selanjutnya.

 

"Ini menunjukkan sebenarnya ekonomi Indonesia itu relatif lebih resilien. Dibandingkan dengan negara-negara yang ada di luar, terutama negara-negara maju, negara-negara yang lebih besar. Tapi ini tidak berhenti di Kuartal III saja. Yang perlu kita waspadai adalah ke depannya, di Kuartal IV dan 2023," terangnya.

Jaga Daya Beli Kelas Bawah

Menurut Faisal, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak didorong oleh kalangan menengah atas yang mempunyai daya beli relatif lebih tahan pada inflasi dibandingkan kalangan bawah.

Meski demikian, Faisal juga tetap menekankan pentingnya pemerintah untuk menjaga daya beli kedua kalangan, khususnya kalangan bawah.

"Sebetulnya ekonomi itu digerakkan oleh kalangan menengah-atas yang tidak terlalu banyak terpengaruh oleh inflasi, namun inflasi yang lebih tinggi itu mengena pada daya beli terutama pada kalangan bawah. Ini yang perlu dilihat," tandasnya.

Faisal mengungkapkan pentingnya konsumsi rumah tangga dengan menjaga daya beli masyarakat. Hal itu untuk menepis kekhawatiran pertumbuhan ekonomi lebih tinggi disertai kesenjangan lebih lebar antara kalangan menengah-atas dan kalangan bawah.

Lebih lanjut, Faisal menekankan kalangan masyarakat bawah tidak mendapat multiplier effect (efek ganda) yang cukup dari pertumbuhan ekonomi, mereka bahkan justru mendapat tekanan baru karena adanya kenaikan biaya hidup sebab inflasi.

"Jadi yang perlu dilakukan pemerintah adalah memastikan kalangan menengah ke bawah, kebijakan-kebijakan insentif yang diberikan itu jangan sampai kontra-produktif terhadap menjaga daya beli kalangan menengah ke bawahnya," ujarnya.