JAKARTA - Anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua MPR-RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid menolak keputusan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan Solar. Ia menilai, pengalihan subsidi BBM menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) berpotensi tidak akurat sebab data yang ada belum jelas.
Ia menghitung, penerima bansos yang belum jelas datanya dan rawan tidak tepat sasaran berjumlah 1,85 juta keluarga.
“Presiden Jokowi sendiri yang pernah menjamin tidak ada kenaikan harga BBM hingga akhir tahun, mengakui bahwa bansos alih-subsidi BBM tidak akan sepenuhnya tepat sasaran. Jika demikian dan di era harga minyak dunia sedang turun, pemerintah Malaysia juga turunkan harga BBM, maka sebaiknya janji jaminan tidak menaikkan harga BBM itu yang dipenuhi, sekaligus dengan serius memperbaiki data yang berhak menerima Bansos reguler karena selalu jadi temuan dari BPK," ujarnya dalam keterangan resmi, Senin 5 September.
Ia melanjutkan, ketidaktepatan sasaran penerima bansos akibat ketidakakuratan semakin terlihat nyata dari penjelasan Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Dalam konferensi persnya pada Sabtu 3 September, Mensos menyampaikan terbuka adanya data 18.486.756 keluarga penerima manfaat (KPM) yang sudah siap salur, sementara sisanya yakni 313.244 masih dalam proses cleansing atau pembersihan data.
Kedua data tersebut jika ditotal baru berjumlah 18,8 juta KPM, jauh lebih rendah dari total penerima yang berhak dan sudah diumumkan Presiden Jokowi yaitu sebanyak 20,65 juta KPM.
Sehingga, lanjutnya, terdapat lebih dari 1.85 juta data yang tak jelas statusnya dan ketepatan sasarannya, yang potensial kembali jadi temuan BPK, dan tidak efektif menjadi solusi atas dinaikkannya harga BBM bersubsidi.
“Lantas data dan alokasi 1,85an juta KPM sisanya Bu Mensos mengambil dari mana? Apalagi hal keganjilan seperti ini juga tidak pernah dibahas apalagi disetujui oleh Komisi VIII DPR-RI. Ini berbahaya dan bisa jadi temuan KPK, jika tiba-tiba masuk data siluman atau data yang diada-adakan, hanya demi pencitraan Pemerintah yang seolah-olah peduli pada masyarakat yang sedang kesulitan atas kenaikan harga BBM, tapi hakikatnya malah makin menyusahkan rakyat. Kami tidak ingin terulangnya kasus Mensos yang ditangkap KPK karena terjadinya korupsi Bansos,” tegasnya.
HNW bilang, selain 1,85an juta data KPM yang tidak jelas sumbernya, 18,8 juta data yang dinyatakan sudah siap salur dan sedang dibersihkan tersebut bersumber dari data penerima program reguler yakni BPNT dan PKH.
BACA JUGA:
Sementara itu data kedua program tersebut konsisten bermasalah. Yang terbaru misalnya pada Juni 2022 Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan kesalahan penyaluran pada program-program tersebut mengakibatkan kerugian negara hingga Rp6,9 triliun.
“Klaim Mensos bahwa 18,8 juta sudah siap salur juga patut dibuktikan ketepatannya. Pasalnya data-data seperti ini selama ini selalu ditemukan penyimpangan, mulai dari masih dicantumkannya warga yang sudah meninggal tapi masih masuk data, tidak tercantum datanya di DTKS, NIK invalid, KPM sudah non-aktif tapi masih diberikan, dan banyaknya penerima ganda,” lanjutnya.
Untuk itu ia mendesak Pemerintah agar segera mengoreksi dengan tidak jadi menaikkan harga BBM sekalipun terlanjur diumumkan.
“Seharusnya Pemerintah terlebih dahulu membahasnya dengan DPR yang mayoritasnya menolak kenaikan harga BBM, mendengarkan jeritan rakyat yang makin disusahkan bila harga BBM tetap dinaikkan, mencerna masukan dari para pakar bagaimana menghindarkan pembebanan terhadap APBN dengan tidak menambah kesusahan rakyat," pungkasnya.
Misalnya dengan menunda proyek-proyek yang tidak prioritas dan tidak menjadi hajat rakyat banyak seperti proyek IKN, KCJB, dan infrastruktur, serta memprioritaskan pembangunan kilang agar Indonesia tidak lagi mengekspor minyak mentah dan mengimpor kembali dari Singapura. Dengan demikian akan ada ketersediaan minyak siap pakai di Indonesia.
"Agar selamatlah APBN kita, selamat juga Rakyat Indonesia akibat dari ketidakbijakan menaikkan harga BBM bersubsidi," kata HNW menegaskan.