Ekonom Hingga Mantan Menkeu Chatib Basri Tidak Setuju Anggaran Bansos Dialihkan ke Subsidi BBM
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Rencana pemerintah yang berniat menggeser anggaran bantuan sosial (bansos) menjadi subsidi energi guna mengurangi tekanan APBN mendapat kritikan dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet.

Menurut dia, pemindahan alokasi tersebut kurang tepat untuk dilakukan saat ini. Pasalnya, bansos memiliki peran yang cukup strategi dalam mempertahankan kesejahteraan masyarakat secara langsung dan tepat sasaran. Sebaliknya, subsidi BBM bersifat terbuka dan sangat berpotensi menimbulkan penyelewengan dalam proses penyaluran.

“Saya kira kebijakan anggaran subsidi seharusnya disandingkan dengan mempertahankan pagu anggaran untuk bansos,” ujar dia kepada VOI, Kamis, 31 Maret.

Malahan, Rendy menyarankan pemerintah dapat mengeluarkan sumber daya lebih banyak agar dua skema bantuan kepada masyarakat tersebut dapat berjalan beriringan tanpa mengecilkan peran dari salah satunya.

“Bahkan jika ingin benar-benar menjaga daya beli masyarakat terutama di bulan Ramadan nanti pemerintah bisa menambah pos bantuan perlindungan sosial,” tutur dia.

Lebih lanjut, ekonom CORE itu mengungkapkan bahwa cara ini sangat mungkin dilakukan mengingat pemerintah juga mendapat keuntungan dari melonjaknya harga minyak dunia.

“Memang anggaran ini berpotensi menambah anggaran belanja pemerintah, namun jangan dilupakan dengan kenaikan harga komoditas, sisi penerimaan juga mendapatkan windfall yang dapat dikompensasikan ke penyesuaian anggaran belanja tanpa harus khawatir akan mengganggu rencana konsolidasi fiskal pemerintah di tahun ini dan tahun depan,” tuturnya.

Senada, Menteri Keuangan (Menkeu) periode 2013-2014 Chatib Basri menyatakan bahwa kebijakan mengalihkan dana bansos menjadi subsidi BBM bisa menimbulkan persoalan tersendiri.

Katanya, jika pemerintah hanya memberikan dukungan anggaran kepada salah satu jenis BBM dan melepas jenis BBM lain sesuai mekanisme pasar maka akan menimbulkan volatilitas harga yang cukup mencolok.

“Ada yang perlu diantisipasi terutama soal price gap. Kalau pertamax naik menjadi Rp16.000 dan Pertalite tetap Rp7.650 maka akan terjadi migrasi (dari pengguna BBM mahal ke BBM murah),” ucap dia melalui @ChatibBasri.

Apabila asumsi tersebut benar terjadi, maka muncul masalah baru yang semakin mendorong APBN dalam lingkar dilema yang lebih kuat.

“Ini bisa menimbulkan over quota dan beban APBN naik tajam,” tegas Chatib.

Oleh karenanya, Menteri Keuangan era Presiden SBY itu memberikan sinyal jika pemerintah perlu mempertahankan program bantuan sosial tanpa mengurangi atau bahkan meniadakan anggaran bansos yang sebelumnya sudah tercatat dalam pagu APBN.

“Lebih baik targeted subsidy kepada orang langsung daripada barang (subsidi BBM),” katanya.

Seperti diketahui, wacana mengubah anggaran bansos menjadi subsidi energi pertama kali dilontarkan oleh Menkeu Sri Mulyani dalam konferensi pers realisasi APBN awal pekan ini. Menurut Sri Mulyani, penggunaan anggaran bakal difokuskan untuk memperkuat pos subsidi energi, seperti BBM, LPG, dan juga listrik.

“Jadi kalau dulu tahun 2020, 2021 dominasi penerima adalah targeted bansos yang bersifat by name, by address, maupun dari nomor penerima bantuan maka sekarang di tahun 2022 karena lonjakan harga subsidi, bansosnya beralih menjadi subsidi dalam bentuk barang, yaitu BBM, LPG, dan listrik,” ujar dia.