Lagu Lama Subsidi BBM: Atas Nama Kepentingan Rakyat dan Menyelamatkan APBN
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - PT Pertamina (Persero) secara resmi melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) untuk BBM Jenis RON 92 atau Pertamax.

Berlaku mulai tanggal 1 April mulai pukul 00:00 waktu setempat, BBM Non Subsidi Gasoline RON 92 (Pertamax) disesuaikan harganya menjadi Rp12.500 per liter (untuk daerah dengan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor /PBBKB 5 persen), dari harga sebelumnya Rp9.000 per liter.

Sebelumnya Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, kenaikan harga Pertamax diikuti dengan pemberian subsidi bagi jenis BBM pertalite yang paling banyak digunakan masyarakat.

"Jadi kalau Pertamax naik, ya mohon maaf. Tapi Pertalite subsidi (harganya) tetap gitu. Nanti 1 April tunggu," ujar Erick.

Lantas, seberapa besarkah beban keuangan negara terhadap subsidi BBM?

Untuk diketahui, sinyal kenaikan harga BBM sebelumnya sempat dilontarkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pada awal pekan ini. Kala itu, Menkeu menjelaskan bahwa nilai jual berbagai jenis BBM di Indonesia belum disesuaikan dengan fluktuasi harga yang terjadi secara global.

Akibatnya, anggaran subsidi membengkak sehingga menimbulkan tekanan pada APBN. Dalam pemaparan itu Menkeu juga menyebut jika angka subsidi telah menembus Rp21,7 triliun pada Februari 2021. Padahal pada sepanjang 2021 nilai pembayaran subsidi hanya sebesar Rp12 triliun.

“Realisasi anggaran subsidi ini yang disalurkan ke nonkementerian dan nonlembaga dalam bentuk subsidi BBM, LPG, dan listrik,” ujarnya.

Secara terperinci Menkeu mengatakan realisasi penggunaan BBM bersubsidi hingga Januari 2022 adalah sebanyak 1,39 juta kilo liter atau tumbuh dari Januari 2021 yang tercatat 1,18 juta kilo liter.

Utang ke Pertamina

Lebih lanjut, bendahara negara menerangkan pula soal kewajiban pemerintah kepada PT Pertamina (Persero) yang tercatat masih punya tunggakan sebesar Rp84,4 triliun. Jumlah tersebut merupakan sisa kewajiban kurang bayar untuk periode 2021.

Asal tahu saja, nilai ini sendiri bukan merupakan keseluruhan subsidi tahun lalu, tapi juga nilai kurang bayar dari periode 2020.

Secara terperinci, pada 2020 kewajiban subsidi pemerintah ke Pertamina adalah sebesar Rp45,9 triliun. Dari angka itu baru dibayar Rp30 triliun pada 2021 sehingga pemerintah masih punya tunggakan Rp15,9 triliun.

Adapun, nilai subsidi BBM di 2021 sendiri bertotal Rp68,5 triliun. Oleh karena itu, keseluruhan kewajiban pemerintah di awal 2022 ini adalah sebesar Rp84,4 triliun.

“Inilah yang disebut sebagai shock absorber. APBN mengambil seluruh tekanan yang berasal dari fluktuasi harga minyak sehingga masyarakat tidak mengalami dampak, namun APBN yang harus mengambil konsekuensinya,” tutur dia.

Realokasi dana bansos

Beban APBN yang begitu besar memaksa Sri Mulyani untuk putar otak lebih keras demi menyeimbangkan instrumen fiskal. Siasat pun diambil. Anggaran bantuan sosial (bansos) yang sedianya disebar pada sepanjang tahun ini dicomot untuk menambal pos subsidi energi, termasuk BBM, agar tidak bertambah boncos.

“Jadi kalau dulu tahun 2020, 2021 dominasi penerima adalah targeted bansos yang bersifat by name, by address, maupun dari nomor penerima bantuan maka sekarang di tahun 2022 karena lonjakan harga subsidi, bansosnya beralih menjadi subsidi dalam bentuk barang, yaitu BBM, LPG, dan listrik,”katanya.

Sebagai informasi, anggaran bansos tahun ini masuk ke dalam dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2022 klaster perlindungan masyarakat sebesar Rp154,8 triliun. Adapun, PEN 2022 sendiri berjumlah Rp455,62 triliun.

Selain perlindungan masyarakat di PEN 2022, terdapat dua klaster lainnya, yakni penanganan kesehatan Rp122,5 triliun dan klaster penguatan pemulihan ekonomi Rp178,3 triliun.

Masukan Menteri Keuangan era SBY

Menteri Keuangan (Menkeu) periode 2013-2014 Chatib Basri menyatakan bahwa kebijakan mengalihkan dana bansos menjadi subsidi BBM bisa menimbulkan persoalan tersendiri.

Katanya, jika pemerintah hanya memberikan dukungan anggaran kepada salah satu jenis BBM dan melepas jenis BBM lain sesuai mekanisme pasar maka akan menimbulkan volatilitas harga yang cukup mencolok.

“Akan terjadi migrasi dari pengguna pertamax ke pertalite yang bisa menimbulkan over quota dan beban APBN naik tajam,” tegas Chatib.

Oleh karena itu, Menteri Keuangan era Presiden SBY tersebut memberikan sinyal jika pemerintah perlu mempertahankan program bantuan sosial tanpa mengurangi atau bahkan meniadakan anggaran bansos yang sebelumnya sudah tercatat dalam pagu APBN.

“Lebih baik targeted subsidy kepada orang langsung dari pada barang (subsidi BBM),” katanya.

Mandatory defisit APBN 3 persen

Kondisi pandemi membuat pemerintah dan DPR sepakat untuk memperlebar defisit APBN menjadi lebih dari 3 persen guna mengimbangi kebutuhan belanja dan pembiayaan anggaran. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Keuangan Negara.

Berkat beleid itu, pemerintah memiliki ruang lebih besar untuk memberikan berbagai bantuan kepada masyarakat sehingga dapat mengurangi tekanan kesehatan, ekonomi, dan sosial akibat COVID-19. Dalam ketentuannya, defisit APBN harus kembali ke level di bawah 3 persen pada 2023 mendatang.

Artinya, periode 2022 menjadi batas akhir pelebaran anggaran untuk kembali ke setelan pabrik alias factory mode, sama seperti sebelum terjadinya pandemi.

APBN pun tidak bisa terus-menerus dipaksa bekerja keras untuk meredam semua tekanan yang ada. Upaya menyehatkan keuangan negara adalah sebuah keniscayaan demi menjaga stabilitas perekonomian nasional.

Agaknya, persoalan subsidi BBM atas nama kepentingan rakyat dan langkah menyelamatkan APBN adalah dua hal yang tidak pernah berkesudahan dari waktu ke waktu. Seperti sebuah lirik lagu lama yang sangat cocok menggambarkan kondisi saat ini: berputar-putar dalam labirin panjang tanpa akhir.