Mengulik Perbandingan Kebijakan Subsidi BBM di Masa SBY dan Jokowi
ILUSTRASI (DOK. ANTARA)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Perbandingan subsidi BBM di masa SBY dan Jokowi menarik untuk diulik di tengah wacana kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi jenis Pertalite dan Solar.

Harga BBM jenis Pertalite bakal naik ke level Rp10.000/liter pada 1 September besok. Sementara Solar dibanderol seharga Rp8.500/liter.

Hingga hari ini, Rabu, 31 Agustus 2022, harga Pertalite di SPBU Pertamanina masih dijual Rp7.650/liter. Sedangkan Solar dijual dengan harga Rp5.500/liter. Dengan demikian, harga Pertalite mengalami peningkatan sebesar Rp2.350/liter dan Solar naik sebesar Rp3.000 per liter.

Keputusan pemerintah menaikkan harga Pertalite dan Solar karena Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN) 2022 sudah tak mampu lagi menopang subsidi energi termasuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tahun ini.

Sedianya, kenaikan harga BBM bersubsidi tidak hanya terjadi pada masa Presiden Jokowi. Di era sebelumnya, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, harga BBM bersubsidi tercatat mengalami beberapa kali kenaikan. Alasannya sama, APBN untuk subsidi BBM membengkak dan ruang fiskal terbatas.

Lantas, Apa yang Membedakan Kebijakan Subsidi BBM di Masa SBY dan Jokowi?

Dihimpun VOI dari berbagai sumber, selama dua periode menjabat, SBY tercatat menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi sebanyak empat kali dan menurunkannya tiga kali.

SBY pertama kali menaikkan harga BBM bersubsidi pada Maret 2005. Kenaikan BBM berikutnya hanya berselang tujuh bulan kemudian.

Pada Mei 2008, SBY kembali menaikkan harga BBM. Bahan bakar minyak bersubsidi di Era SBY terakhir kali naik yakni pada 2013 atau setahun sebelum Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu lengser sebagai presiden.

Pada 2013, SBY mematok harga Premium sebesar Rp6.500/liter Angka tersebut naik Rp2 ribu dari harga sebelumnya. Kenaikan harga tersebut sebenarnya sudah direncakan sejak setahun sebelumnya. Akan tetapi, karena ada perlawanan yang masif dari masyarakat dan parlemen, harga BBM bersubsidi urung di naikkan.

Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono. (Wikimedia Commons)
Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono. (Wikimedia Commons)

Pada 2012, kenaikan harga BBM ditentutan lewat rapat paripurna DPR. Kala itu, PDIP yang notabene merupakan partai oposisi, melakukan perlawanan keras di sidang paripurna. Mereka bahkan melakukan aksi walkout karena sidang paripurna sudah berlangsung selama 12 jam.

Kala itu, PDIP berpandangan cara pemerintah menyelamatkan APBN dengan menaikkan harga BBM kurang tepat. Menurut mereka, ada alternatif untuk menyelamatkan APBN tanpa menyusahkan masyarakat, misalnya dengan mencari sumber pendanaan lain. Pandangan ini tertuang dalam buku berjudul Argummentasi PDI Perjuangan Menolak Kenaikan Harga BBM yang dicetak sebanyak 40 ribu eksemplar dan dibagikan kepada para kader, media, dan masyarakat.

Sementara itu, di masa pemerintahan Jokowi, harga BBM juga tercatat mengalami beberapa kali kenaikan. Pada April 2022, pemerintah menaikkan harga BBM jenis Pertamax dari Rp9.000/liter menjadi Rp12.500/liter. Yang terbaru, Jokowi berencana menaikkan harga Pertalite dan Solar masing-masing ke level Rp10.000/liter dan Rp8.500/liter.

Hanya saja, reaksi masyarakat dan parlemen terhadap kebijakan Jokowi berbeda dengan SBY. Perlawanan masyarakat terbilang lebih kecil dan DPR tak banyak melontarkan kritik.

Padahal, alasan kenaikan harga BBM terbilang sama, yakni APBN mengalami tekanan luar biasa akibat subsidi bahan bakar minyak.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kuota BBM bersubsidi yang ditargetkan dalam APBN tahun ini, diprakirakan bakal habis ada bulan Oktober.

“Kalau kita asumsikan volume konsumsi (BBM-red) mengikuti selama delapan bulan terakhir, kuota akan habis di bulan Oktober, kalau konsumsinya tetap sama,” kata Sri Mulyani pada Jumat, 26 Agustus 2022, dikutip dari Antara.

Bersamaan dengan itu, sambung Sri Mulyani, kompensasi energi yang mencapai Rp502 triliun pada tahun ini juga akan habis pada Oktober 2022.

“Yang terjadi sekarang, dengan pemulihan ekonomi, konsumsi dan subsidi yang masih tinggi, konsumsi solar dan pertalite diperkirakan jauh melampaui apa yang ada di APBN,” ucap Sri Mulyani.

Sedikitnya tekanan yang dirasakan Jokowi saat menaikkan harga BBM, termasuk bahan bakar minyak bersubsidi mungkin dikarenakan keberhasilannya dalam merangkul banyak kekuatan di parlemen. Langkah ini terbilang efektif untuk menghindari kebuntuan yang terjadi di masa pemerintahan SBY.

Demikianlah perbandingan kebijakan subsidi BBM di masa SBY dan Jokowi. Meski sama-sama menaikkan harga BBM bersubsidi. Akan tetapi, tekanan yang dirasakan SBY jauh lebih besar ketimbang Jokowi.