Bagikan:

JAKARTA – Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai rencana pemerintah yang berniat mengurangi anggaran bantuan sosial (bansos) untuk dialihkan sebagai subsidi energi, utamanya bahan bakar minyak (BBM), dirasa kurang tepat.

Pasalnya, dengan momentum Ramadan seperti saat ini skema bansos tetap diperlukan guna mengatrol daya beli masyarakat di tengah tren peningkatan harga barang kebutuhan pokok akibat dari faktor musiman atau seasonal. Malahan, dia mendorong pemerintah untuk semakin banyak menggelontorkan dana agar roda perekonomian secara makro dapat tetap berjalan dengan laju yang diharapkan.

“Saya kira kebijakan anggaran subsidi seharusnya disandingkan dengan mempertahankan pagu anggaran untuk bansos. Bahkan jika ingin menjaga daya beli masyarakat terutama di bulan Ramadan pemerintah juga bisa menambah pos bantuan perlindungan sosial,” ujarnya ketika dihubungi VOI pada tengah pekan ini.

Rendy sendiri tidak memungkiri jika usulan yang diberikan tersebut bakal membawa konsekuensi terhadap penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Meski demikian, ekonom CORE itu mengingatkan bahwa sebenarnya pemerintah memiliki ruang yang cukup terbuka mengingat negara mendapatkan juga pemasukan lebih dari harga komoditas yang melonjak.

“Memang anggaran ini berpotensi menambah anggaran belanja pemerintah. Namun jangan dilupakan dengan kenaikan harga komoditas, sisi penerimaan juga mendapatkan windfall yang bisa dikompensasikan ke penyesuaian anggaran belanja tanpa harus khawatir akan mengganggu rencana konsolidasi fiskal pemerintah di tahun ini dan tahun depan,” jelas dia.

Lebih lanjut, pemerintah pada tahun ini tengah berupaya keras untuk menyehatkan kembali struktur APBN. Sebab, periode 2023 adalah kali pertama pelebaran defisit anggaran akan dihapuskan untuk kembali ke aturan di bawah 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Sebagai konsekuensi, negara akan berupaya menekan belanja sekaligus dalam waktu yang bersamaan mendorong sektor penerimaan agar beban APBN bisa dikurangi seperti kondisi normal.

Untuk diketahui, dalam dua tahun belakangan defisit anggaran cukup melebar dengan catatan Rp947,6 triliun atau 6,14 persen PDB pada 2020.

Lalu, untuk periode 2021 APBN disebutkan mengalami defisit sebesar Rp783,7 triliun atau setara 4,65 persen PDN.

Sementara untuk APBN 2022 besaran defisit dipatok sebesar Rp868 triliun atau 4,85 persen PDB. Adapun, realisasi hingga Februari lalu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dilaporkan surplus Rp19,7 triliun.

Sebagai informasi, wacana realokasi anggaran bansos menjadi subsidi energi pertama kali diungkapkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.

“Jadi kalau dulu tahun 2020, 2021 dominasi penerima adalah targeted bansos yang bersifat by name, by address, maupun dari nomor penerima bantuan maka sekarang di tahun 2022 karena lonjakan harga subsidi, bansosnya beralih menjadi subsidi dalam bentuk barang, yaitu BBM, LPG, dan listrik,” kata Menkeu.