Bagikan:

JAKARTA - Kinerja emiten media, baik itu yang dimiliki konglomerat Hary Tanoesoedibjo maupun Eddy Kusnadi Sariaatmadja menarik untuk dicermati. Pasalnya, sudah jadi rahasia umum, bahwa dua nama orang terkaya di Indonesia ini adalah pemimpin pangsa pasar di sektor media.

Hary Tanoe adalah bos besar di MNC Group, sementara Eddy Kusnadi Sariaatmadja adalah pemimpin di Grup Emtek. Belakangan ini Grup Emtek dan Grup MNC sama-sama tengah kedatangan angin segar sentimen positif bagi kinerja keuangan dan saham perseroan. Apa saja?

Grup Emtek melalui PT Elang Mahkota Tbk (EMTK) telah memenangkan grup siar Piala Dunia 2022. Mereka menyiapkan 7 platform untuk menayangkan seluruh laga Piala Dunia.

Adapun, beberapa di antaranya berada di bawah pengelolaan PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) yang merupakan anak usaha Emtek. Analis Mirae Sekuritas Christine Natasya mengatakan meskipun biaya untuk memperolah izin hak siar tidak diungkapkan namun menurutnya hal tersebut akan dialokasikan melalui bisnis media EMTK atau SCMA.

Secara historis, ini bukan pertama kalinya SCMA menyiarkan acara Piala Dunia di saluran TV mereka. FIFA juga menjual hak siar Piala Dunia FIFA 2006 kepada SCTV dengan rincian 64 pertandingan termasuk 56 siaran langsung dan 8 rekaman pertandingan penyisihan grup.

"Kami pikir memegang lisensi Piala Dunia pasti akan menarik lebih banyak pelanggan ke Vidio Premier SCMA serta pangsa pemirsa TV yang lebih tinggi, sehingga diharapkan pendapatan yang lebih tinggi," kata Christine dalam risetnya," dikutip Selasa 29 Maret.

Dia memprediksi hak siar berkisah 10 juta dolar AS hingga 30 juta dolar AS. Biaya yang dianggap besar dan kuat sebab margin perusahaan berada pada risiko penurunan mengingat banyak fast moving consumer good (FMCG) berjuang untuk pengeluaran mereka.

Berdasarkan data Statista, pendapatan FIFA dari lisensi meningkat secara signifikan sejak 2016 karena meningkatkan kesepakatan siaran. Dengan demikian, dia meyakini grup EMTK juga akan membayar dua kali lipat dibandingkan dengan 2006.

Dengan kondisi tersebut, dia memperkirakan pendapatan datar pada kuartal IV 2022, dengan GPM pada 53,2 persen.

"Kami menaikan perkiraan pendapatan SCMA untuk 2022 sebesar 3 persen, tetapi mengurangi perkiraan laba sebesar 6,3 persen karena hak siar baru yang diperoleh grup," katanya.

Di sisi lain prospek menjanjikan dari sisi belanja iklan juga tampak dari capaian tahun lalu. Berdasarkan laporan tahunan Nielsen, belanja iklan sepanjang 2021 tumbuh 13 persen dari tahun sebelumnya.

Adapun, total belanja iklan untuk televisi, channel digital, media cetak dan radio mencapai Rp259 triliun (berdasarkan perhitungan gross rate card). Televisi masih menjadi saluran iklan pilihan para pemilik merek dengan jumlah belanja iklan 78,2 persen disusul saluran digital (15,9 persen), media cetak (5,5 persen), dan radio (0,4 persen).

MNC Group 'meroket' berkat iklan

Sementara itu, emiten media milik konglomerat Hary Tanoesoedibjo, PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN), membukukan pendapatan iklan sebesar Rp6,74 triliun pada Januari-September 2021 atau naik 22,06 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar Rp5,52 triliun.

Dari sisi bottom line, laba bersih MNCN juga terkerek 22,24 persen dari Rp1,35 triliun menjadi Rp1,65 triliun. Dalam laporan kinerja yang dirilis manajemen pada pertengahan Januari 2022, MNCN mencatatkan rekor tertinggi dalam pangsa pemirsa di slot prime-time rata-rata 2021 yakni sebesar 52,2 persen berdasarkan riset data dan analisis Nielsen.

Pada tahun 2022, perseroan berencana untuk memonetisasi konten internalnya lebih lanjut melalui iklan kreatif dengan meningkatkan penyiaran konten siaran lokal dibandingkan dengan asing untuk mendekati rasio 90 persen : 10 persen dibandingkan dengan sebelumnya yaitu sekitar 80 persen : 20 persen pada 2021.

"Saya percaya, 2022 akan menjadi tahun yang tiada duanya bagi grup karena kami telah memutuskan untuk mengkonsolidasi aset digital MNC Media di bawah MSIN," kata Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo beberapa waktu lalu.