Perang Rusia–Ukraina Akhiri Era Suku Bunga Terendah Sepanjang Sejarah BI?
Gubernur BI Perry Warjiyo (Foto: Dok Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) hingga Maret 2022 masih tetap mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di level 3,50 persen. Angka ini sudah diberlakukan sejak tahun 2020 dengan pemangkasan secara gradual 150 basis poin dalam enam kali penurunan.

Level suku bunga tersebut merupakan yang paling rendah sepanjang sejarah BI, sekaligus respon atas kondisi pandemi COVID-19 yang melanda di dalam negeri. Belakangan, bank sentral tengah dihadapkan pada posisi yang cukup sulit.

Situasi geopolitik yang bergejolak imbas perang Rusia dan Ukraina membuat sejumlah harga komoditas terkerek naik. Salah satu yang menjadi indikator penting adalah meningkatnya bandrol minyak mentah.

Berdasarkan informasi yang dihimpun redaksi, harga minyak dunia hari ini telah menembus 133 dolar AS per barel. Padahal, dalam kondisi normal, nilai jual tidak pernah melebihi 100 dolar per barel. Hal tersebut tentu saja menimbulkan tekanan pada sisi inflasi.

Dalam situasi ini, Bank Indonesia mau tidak mau harus segera melakukan penyesuaian terhadap kebijakan moneter, utamanya suku bunga acuan. Sebab, inflasi yang tinggi biasanya dipicu oleh kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Jika harga naik maka jumlah uang yang beredar bakal semakin banyak.

Apabila kondisi ini dibiarkan, maka bisa menimbulkan dampak pada nilai tukar yang berakibat pada anjloknya mata uang rupiah. Kenaikan suku bunga berarti mendorong masyarakat untuk menabung. Sehingga, likuiditas yang melimpah dapat segera terserap dan nilai tukar bisa kembali ke level fundamental.

Meski demikian, menaikkan suku bunga juga bukan jalan terbaik tanpa celah. Rate interest yang melambung sudah pasti menjalar ke bunga kredit.

Apabila rate kredit yang ditawarkan oleh bank naik, bisa jadi menimbulkan beban tersendiri bagi pelaku usaha. Keadaan ini membuat perusahaan-perusahaan cenderung enggan menarik dana dari bank sehingga aktivitas ekspansi menjadi mandek.

Satu hal yang perlu diingat adalah fungsi intermediasi perbankan saat ini masih dalam level yang cukup landai. Padahal, suku bunga acuan masih ditetapkan pada tingkat yang sangat rendah dengan 3,50 persen, apalagi kalau dinaikkan.

Apakah masalah sudah selesai? Belum. Bank sentral di Indonesia masih harus menghadapi tantangan dari The Federal Reserve yang berniat menaikan the fed funds rate pada Maret ini. Setidaknya hal tersebut diyakini oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur BI Perry Warjoyo, sebagaimana diberitakan VOI beberapa waktu lalu.

Di sinilah pentingnya Bank Indonesia untuk mengkalibrasi kebijakan moneter agar tetap memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional. Jadi, akankah perang Rusia dan Ukraina menjadi akhir dari era suku bunga terendah sepanjang sejarah BI?