JAKARTA - Perundingan untuk menyelesaikan konflik militer antara Rusia dan Ukraina tak kunjung membuahkan hasil. Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai, perang yang berkepanjangan akan berdampak terhadap ekonomi global, termasuk ekonomi nasional.
Menurutnya, kondisi ini harus diantisipasi pemerintah, seperti lonjakan harga minyak dunia dan potensi melemahnya kinerja ekspor impor Indonesia.
“Saat ini rakyat masih kesusahan akibat lonjakan harga minyak goreng, kedelai, dan daging sapi. Bila ditambah lagi dengan lonjakan harga gandum dan produk turunannya, maka akan menambah beban rakyat,” kata Hergun, sapaan akrab Heri dalam keterangannya, Minggu, 6 Maret.
Dikatakan Hergun, Ukraina merupakan salah satu negara pemasok gandum terbesar kedua untuk Indonesia. Perang ini akan menghambat suplai gandum, sehingga berdampak naiknya harga gandum dan produk turunannya. Pada 2021, total nilai impor gandum Indonesia mencapai 3,54 miliar dolar AS.
"Impor terbesar dari Australia mencapai 41,58 persen atau sebesar 1,47 miliar dollar AS, disusul Ukraina sebesar 25,91 persen atau senilai 919,43 juta dolar AS," ujarnya.
Pemerintah, lanjutnya, harus menyiapkan langkah mitigasi menghadapi kelangkaan gandum. Seiring dengan pemulihan ekonomi, tentu akan membutuhkan pasokan gandum yang lebih banyak. Pemerintah perlu menjajaki negara-negara lain sebagai pengganti Ukraina sebagai pemasok gandum.
“Meskipun diperkirakan akan kesulitan mendapatkan substitusi negara penghasil gandum, tapi pemerintah harus mencoba secara optimal,” kata dia.
Ia menjelaskan, pada 2021/2022, Indonesia merupakan pengonsumsi gandum peringkat ke-14 dunia dengan 10,4 juta ton. Peringkat pertama diduduki China dengan 148,5 juta ton. Disusul Uni Eropa 107,65 juta ton, India 104,25 juta ton, Rusia 41,5 juta ton, dan Amerika Serikat 30,97 juta ton. Industri makanan minuman di Indonesia sangat membutuhkan gandum impor untuk bahan baku. Jika perang berlangsung lama dan tidak ada pengganti gandum Ukraina, maka produksi pasti terganggu.
“Bila produksi menurun, bisa mengakibatkan pengurangan karyawan baik yang dikurangi jam kerjanya, dirumahkan, atau di-PHK. Hal tersebut bisa meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan pada 2022. Padahal, pada 2021, angka penggangguran sudah turun dari 7,07 persen pada Agustus 2020 menjadi 6,49 persen pada Agustus 2021. Dan angka kemiskinan juga turun dari 10,19 persen pada September 2020 menjadi 9,71 persen pada September 2021,” bebernya.
Lebih jauh ia menambahkan, dampak lainnya yang perlu diwaspadai adalah kenaikan harga minyak dunia yang sudah naik menjadi 107,47 dolar AS per barel untuk harga minyak mentah berjangka Brent untuk kontrak Mei 2022.
Sementara harga minyak West Texas Intermediate (WTI) naik menjadi 106,23 dolar AS per barrel. Sebelum terjadi perang Rusia-Ukraina, pasar energi sudah bergejolak. Hal itu karena pasokan minyak sedunia tidak mampu mengimbangi pemulihan ekonomi yang kuat ketika pandemi Covid-19 mulai melandai.
"Kenaikan minyak dunia di satu sisi menguntungkan APBN karena mendapatkan lonjakan penerimaan negara. Namun di sisi lain menyusahkan rakyat karena harus menerima kenaikan harga BBM,” ujarnya.
BACA JUGA:
Sebelumnya, pada 12 Februari, Pertamina telah menaikkan harga 3 jenis BBM non subsidi, yaitu Pertamina Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite. Kenaikan harga berkisar Rp1.500-Rp2.650 dari harga sebelumnya. Jika harga minyak dunia terus melambung, bukan tidak mungkin Pertamina juga akan kembali menaikkan harga BBM.
“Kenaikan harga BBM tentu akan mendorong kenaikan harga. Indonesia akan mengalami tekanan yang cukup kuat. Kenaikan harga minyak akan mendorong pada dua pilihan menaikkan subsidi energi atau menaikkan harga BBM dan listrik. Dua-duanya merupakan pilihan yang sulit, karena akan berdampak terhadap APBN dan daya beli masyarakat,” pungkas Hergun.