Menlu Rusia Tidak Percaya Konflik di Ukraina Bisa Jadi Perang Nuklir, Tapi Tegaskan Tidak Ingin Bergantung pada Barat
Menlu Rusia Sergei Lavrov. (Wikimedia Commons/Kremlin.ru/Пресс-служба Президента РФ)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan pada Hari Kamis, dia tidak percaya konflik di Ukraina akan berubah menjadi perang nuklir, tetapi memperingatkan Amerika Serikat dan Eropa bahwa Moskow tidak pernah lagi ingin bergantung pada Barat.

Ekonomi Rusia menghadapi krisis paling parah sejak jatuhnya Uni Soviet pada 1991, setelah Barat menjatuhkan sanksi berat pada hampir seluruh sistem keuangan dan perusahaan Rusia, menyusul invasi Moskow ke Ukraina pada 24 Februari.

Ditanya oleh koresponden Kremlin untuk surat kabar Kommersant Rusia apakah dia pikir perang nuklir dapat dipicu, Lavrov mengatakan kepada wartawan di Turki: "Saya tidak ingin mempercayainya, dan saya tidak mempercayainya," melansir Reuters 11 Maret.

Lavrov, menteri luar negeri Presiden Vladimir Putin sejak 2004, mengatakan tema nuklir telah dilemparkan ke dalam diskusi hanya oleh Barat, yang katanya terus kembali ke perang nuklir seperti Sigmund Freud, bapak psikoanalisis.

"Tentu saja itu membuat kita khawatir ketika Barat, seperti Freud, terus kembali dan kembali ke topik ini," kata Lavrov setelah pembicaraan di Antalya, Turki dengan mitranya dari Ukraina Dmytro Kuleba.

Lavrov mengatakan pembicaraan tentang potensi serangan Rusia terhadap negara-negara Baltik sebelumnya, Lituania, Latvia dan Estonia, sekarang semua anggota Uni Eropa dan NATO, sebagai 'tipuan lama'.

Rusia dan Amerika Serikat memiliki persenjataan hulu ledak nuklir terbesar setelah Perang Dingin yang membagi dunia selama sebagian besar abad ke-20, mengadu Barat melawan Uni Soviet dan sekutunya.

Diketahui, Presiden Putin pada 27 Februari memerintahkan pasukan nuklir Rusia untuk waspada tinggi, mengutip sanksi Barat dan pernyataan agresif oleh anggota terkemuka aliansi militer NATO. Pejabat Rusia kemudian mengutip komentar Inggris tentang kemungkinan konfrontasi antara NATO dan Rusia.

Sebelumnya, Presiden Putin mengatakan "operasi militer khusus" di Ukraina sangat penting untuk memastikan keamanan Rusia setelah Amerika Serikat memperluas keanggotaan NATO hingga ke perbatasan Rusia dan mendukung para pemimpin pro-Barat di Kyiv.

Ukraina mengatakan sedang berjuang untuk keberadaannya dengan Amerika Serikat bersama sekutu Eropa dan Asianya mengutuk invasi Rusia. China telah menyerukan untuk tenang.

Sekarang Barat telah menjatuhkan sanksi yang melumpuhkan terhadap Rusia, Lavrov mengatakan Moskow berpaling dari Barat dan akan mengatasi konsekuensi ekonomi.

"Kami akan keluar dari krisis ini dengan psikologi dan hati nurani yang direvitalisasi: Kami tidak akan memiliki ilusi bahwa Barat dapat menjadi mitra yang dapat diandalkan," kata Lavrov.

"Kami akan melakukan segalanya untuk memastikan, kami tidak pernah lagi bergantung pada Barat di bidang kehidupan kami yang memiliki arti penting bagi rakyat kami," tegasnya.

Di Moskow, Sergei Chemezov, sekutu dekat Presiden Putin, juga membela tindakan Rusia di Ukraina, mengatakan bahwa Rusia dapat menanggung sanksi melumpuhkan yang dikenakan oleh Barat dan pada akhirnya akan muncul sebagai pemenang.

Sementara itu, Presiden Putin, berbicara kepada pemerintah tentang langkah-langkah untuk menangani dampak sanksi, mengatakan Rusia akan menggantikan impor dengan mengembangkan pasar domestik dan muncul lebih kuat.

"Itu semua akan mengarah pada peningkatan kemandirian, swasembada dan kedaulatan kita," papar Presiden Putin.

Untuk diketahui, ketika Uni Soviet runtuh, banyak orang di Rusia dan Barat berharap perpecahan Perang Dingin telah berakhir.

Ditanya tentang sanksi energi yang diberlakukan oleh Amerika Serikat, Menlu Lavrov mengatakan Rusia tidak akan mencoba meyakinkan pembeli mana pun untuk membeli energinya.

Dalam referensi yang jelas ke China, ekonomi terbesar kedua di dunia, Menlu Lavrov mengatakan Rusia memiliki pasar untuk minyak dan gasnya.