Rusia Enggan Bahas Pengendalian Senjata Nuklir Selama AS dan Barat Mendukung Ukraina
Menlu Rusia Sergei Lavrov. (Wikimedia Commons/Kremlin.ru)

Bagikan:

JAKARTA - Rusia mengatakan tidak mungkin membahas pengendalian senjata nuklir dengan Amerika Serikat tanpa mempertimbangkan situasi di Ukraina, mengkritik dukungan Barat terhadap Kyiv.

Dalam konferensi pers tahunannya pada Hari Kamis Menlu Lavrov mengatakan, Washington telah mengusulkan pemisahan kedua isu tersebut, kemudian melanjutkan perundingan "stabilitas strategis" antara kedua negara, yang sejauh ini memiliki persenjataan nuklir terbesar di dunia.

Namun, Menlu Lavrov mengatakan usulan tersebut tidak dapat diterima oleh Rusia karena dukungan Barat terhadap Ukraina dalam perang yang kini mendekati akhir tahun kedua.

Tidak adanya dialog merupakan hal yang krusial, karena perjanjian New START yang membatasi hulu ledak nuklir strategis kedua belah pihak akan berakhir pada Bulan Februari 2026.

Jika perjanjian ini tidak berlaku lagi, maka kedua negara tidak akan lagi memiliki perjanjian senjata nuklir yang tersisa pada saat ketegangan di antara mereka sedang memuncak, titik tertinggi sejak krisis rudal Kuba tahun 1962.

"Kami tidak melihat sedikitpun minat Amerika Serikat atau NATO untuk menyelesaikan konflik Ukraina dan mendengarkan kekhawatiran Rusia," ujar Menlu Lavrov, melansir Reuters 18 Januari.

Lebih lanjut, Menlu Lavrov menuduh Barat mendorong Ukraina untuk semakin menggunakan senjata jarak jauh, untuk melakukan serangan lintas batas ke wilayah Rusia.

Dikatakan, serangan semacam ini semakin intensif dalam beberapa pekan terakhir, termasuk serangan terhadap Kota Belgorod di bagian selatan yang menewaskan 25 orang pada 30 Desember.

Kendati demikian, Menlu Lavrov tidak memberikan bukti apapun atas pernyataannya, jika Barat mendorong Ukraina untuk melakukan serangan tersebut, namun menuduh Amerika Serikat mencari superioritas militer atas Rusia.

Dikatakan olehnya, tidak ada alasan untuk membahas pengendalian senjata ketika Barat sedang melakukan apa yang disebutnya sebagai "perang hibrida" melawan Moskow.

"Kami tidak menolak gagasan ini untuk masa depan, namun kami mengkondisikan kemungkinan ini dengan mengabaikan kebijakan Barat yang meremehkan dan tidak menghormati kepentingan Rusia," tandas Menlu Lavrov.