JAKARTA - Pemerintah diketahui mengalokasikan anggaran sebesar Rp405,86 triliun pada tahun ini untuk membayar bunga utang. Adapun, hingga Akhir Desember 2021 utang Indonesia tercatat sebesar Rp6.908,87 triliun. Informasi itu mencuat dalam rapat kerja pemerintah dengan DPD RI hari ini.
Disebutkan jika besaran bunga utang tersebut sekitar 20 persen dari pendapatan negara 2021 yang senilai Rp2.003,1 triliun.
Menanggapi hal tersebut, pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa kondisi ini berada melebihi ambang batas yang disarankan oleh Lembaga Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF).
“Untuk ketentuan rasio bunga utang terhadap pendapatan, IMF menyarankan angka rasionya itu di kisaran 7 sampai dengan 10 persen,” ujar dia ketika dihubungi VOI pada Senin, 24 Januari.
Dalam catatan Rendy, sebelum pandemi terjadi (2019), rasio bunga utang terhadap penerimaan Indonesia, berada di kisaran 14 persen.
“Sehingga, saat sebelum pandemi pun angka Indonesia sudah relatif tinggi,” tegasnya.
Rendy menambahkan, melambungnya rasio utang terhadap pendapatan negara juga dipengaruhi oleh sektor penerimaan yang tidak begitu optimal.
BACA JUGA:
“Tentu hal ini tidak terlepas dari kinerja penerimaan negara, terutama pajak, yang kinerja tidak begitu menggembirakan dalam 10 tahun terakhir. Bahkan ketika program pengampunan pajak jilid I dilakukan, kinerja pajak belum meningkat secara signifikan,” jelasnya.
Sebagai pembanding, dia lantas membagikan beberapa data yang bisa menjadi acuan kondisi keuangan negara.
“Untuk perbandingan dengan negara lain, rasio bunga utang dengan penerimaan negara Indonesia juga relatif lebih tinggi. Di ASEAN misalnya, rasio Indonesia relatif lebih tinggi jika dibandingkan Malaysia (12,5 persen), Thailand (5,2 peren), dan FIlipina (11,5 persen),” katanya.
Untuk itu, dia berharap kinerja sektor penerimaan, utamanya pajak, dapat terus meningkat seiring dengan mulai bergeliatnya aktivitas produktif di masa pemulihan. Apalagi, pemerintah sudah menggulirkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang disebut-sebut sebagai tax amnesty jilid II.
“Jadi tentu ini menjadi pekerjaan rumah berikutnya, artinya dengan peningkatan bunga utang yang relatif tinggi maka kelanjutan reformasi perpajakan menjadi esensial untuk diperhatikan,” tutup dia.