JAKARTA - Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjawab catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang menyebut bahwa kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF.
“Pernyataan Ketua BPK terkait kekhawatiran penurunan kemampuan pemerintah membayar utang dan bunga utang patut diapresiasi dan sejalan dengan komitmen pemerintah untuk selalu menjaga akuntabilitas dan tata kelola keuangan negara, bahkan di masa pandemi ini,” katanya melalui saluran Twitter pribadi @prastow seperti yang dikutip pada Kamis, 24 Juni.
Menurut Yustinus kondisi pandemi membuat pelebaran defisit anggaran tidak bisa dihindari. Hal tersebut kemudian berimplikasi pada struktur pembiayaan keuangan negara yang meningkat.
“Pandemi ini kejadian extraordinary. Hampir semua negara menghadapi ini dan mengambil kebijakan countercyclical untuk menjaga perekonomian dan memberi stimulus. Implikasinya defisit melebar. Tapi ini harus diambil demi tujuan dan kepentingan yang lebih besar,” tuturnya.
Meski demikian, anak buah Sri Mulyani itu tetap berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan pemerintah tetap berada dijalur yang aman.
“Tahun 2020 pemerintah telah mengelola pembiayaan APBN dengan kebijakan extraordinary yang menjaga pembiayaan pada kondisi aman. Bahkan upaya menekan biaya utang dilakukan dengan berbagai cara, seperti burden sharing bersama BI, konversi pinjaman luar negeri dengan suku bunga dekati 0 persen, serta penurunan yield menjadi 5,85 persen,” katanya.
Yustinus lantas membandingkan struktur utang Indonesia dengan beberapa negara berdasarkan produk domestik bruto (PDB) masing-masing.
“Tahun 2020 rasio utang kita 39,39 persen, Filipina 48,9 persen, Thailand 50,4 persen, China 61,7 persen, Korsel 48,4 persen, dan AS 131,2 persen,” imbuhnya.
“Dengan berbagai strategi dan respon kebijakan, ekonomi Indonesia tumbuh relatif lebih baik. Di samping itu, lembaga pemeringkat kredit internasional juga mengapresiasi dan mempertahankan peringkat Indonesia. Padahal 124 negara mengalami downgrade. Ada yg minta pengampunan utang,” jelas dia.
Sebagai informasi, BPK memberikan tiga catatan penting terkait kondisi utang Indonesia. Pertama, rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.
BACA JUGA:
Kedua, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen.
Serta yang ketiga adalah rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.
Untuk diketahui, dalam UU Keuangan Negara Nomor 17 tahun 2003 serta Undang-undang APBN disebutkan bahwa rasio utang masih aman jika dibawah batas 60 persen terhadap PDB. Adapun, hingga April 2021 rasio utang menurut Bank Indonesia terkendali dengan besaran 37,9 persen terhadap PDB.
“Pemerintah sependapat untuk terus waspada dan mengajak semua pihak bekerja sama dalam mendukung pengelolaan pembiayaan negara agar hati-hati, kredibel, terukur. Selain itu, reformasi pajak untuk optimalisasi pendapatan negara juga terus dilakukan, sehingga kemampuan membayar tetap terjaga,” tutup Yustinus.