Jadi Pasien IMF, Rombongan Negara Asia Selatan Didiagnosa Alami Stres Utang
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Fenomena banyak negara di kawasan Asia Selatan yang terlilit utang mendapat perhatian tersendiri dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.

Disebutkan bahwa kondisi menjadi semakin berat lantaran adanya tren kenaikan suku bunga imbas dari upaya bank sentral unutk mengendalikan inflasi.

Alhasil, beban negara atas kewajiban menjadi semakin berat.

Di sisi lain, sektor produktif masih belum pulih pascapandemi COVID-19 dan kini turut terimbas faktor geopolitik.

Menurut Sri Mulyani, situasi tersebut kini menjadi momok di sejumlah negara Asia Selatan.

“Semalam saya membaca wawancara bank sentral India yang menyebutkan bahwa semua negara di Asia Selatan mengalami debt stress (stress utang), seperti Bangladesh, Sri Lanka, dan Pakistan yang semuanya masuk ke dalam pasien IMF,” ujar dia dalam pertemuan awal tahun dengan bankir nasional bertajuk CEO Banking Forum di Jakarta, Senin, 9 Januari.

Sri Mulyani menambahkan, situasi makin pelik dialami negara dengan kebutuhan impor energi dan pangan yang besar.

Kata di, hal ini yang kemudian turut mendorong sentimen negatif untuk perjalanan ekonomi di sepanjang 2023.

“Tahun ini prediksi dari lembaga global atas perekonomian dunia memang kurang menggembirakan. Tidak hanya inflasi dan kemungkinan resesi, namun ada juga masalah dengan debt sustainability di berbagai negara,” tuturnya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun redaksi, diketahui bahwa Bangladesh menjadi negara paling anyar yang menjadi pasien IMF setelah sepakat meminjam pakat bantuan senilai 4,5 miliar dolar AS atau setara Rp70,5 triliun (kurs Rp15.680).

Sebelumnya, Sri Lanka malahan dinyatakan sebagai negara bangkrut pada 2022 setelah pemerintah tidak mampu membayar beban utang 51 miliar dolar AS kepada kreditur luar negeri. Hal ini yang kemudian membuat Sri Lanka mengaktifkan klausul penarikan dana segar dari IMF.

Sementara Pakistan, ditengarai tengah di ambang kebangkrutan akibat menurunnya cadangan devisa yang bisa mengancam kewajiban pembayaran cicilan utang.

Lebih lanjut, Menkeu menyampaikan pula jika aspek geopolitik saat ini menjadi salah satu penentu arah ekonomi strategis. Padahal, sambung dia, selama era globalisasi batasan-batasan tradisional negara bisa dilewati atas nama kerja sama yang saling menguntungkan.

“Geopolitik berubah, apa ini artinya? Banyak yang bilang ini akan balik seperti perang dingin, blok barat dan timur. Sebetulnya episode sekarang sama persis dengan tahun 70-an, inflasi tinggi (disertai tensi yang tinggi timur-barat),” ucap Menkeu Sri Mulyani.