JAKARTA – Teka-teki eksistensi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan pertalite nampaknya tinggal menunggu hari. Pasalnya, pemerintah dikabarkan bakal segera menghapus dua BBM bersubsidi tersebut dari daftar layanan SPBU Pertamina. Artinya, tidak ada lagi BBM murah dengan andil sokongan uang negara.
Mengutip peta jalan (roadmap) pengembangan energi yang disusun pemerintah, diketahui bahwa bbm jenis premium dan pertalite tidak masuk dalam skema ini. Penyelenggara negara beralasan bahwa penciptaan dan penggunaan energi harus sesuai dengan prinsip-prinsip ramah lingkungan.
Ini berarti batasan bahan bakar kendaraan bermotor yang diperbolehkan di Indonesia hanya berkategori RON 92 alias pertamax. Sedangkan premium dan pertalite masing-masing memiliki RON 88 dan 90.
Sinyal ‘penutupan keran’ dua BBM bersubsidi telah lebih dulu diutarakan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif tengah tahun ini. Menurut dia, distribusi premium mulai dikurangi demi meminimalisir emisi gas buang kendaraan bermotor pada lapisan ozon.
“Penjualan premium pelan-pelan dikurangi demi meminimalkan dampak gas rumah kaca,” katanya beberapa waktu lalu.
Pertanyaannya adalah kapan BBM premium dan pertalite dihapuskan?
Jawabannya ada di tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebab, keputusan strategis negara seperti penggunaan bahan bakar minyak setidaknya memerlukan payung hukum Peraturan Presiden (Perpres). Berdasarkan informasi yang dihimpun redaksi, draft penghapusan ‘bbm wong cilik’ sudah sampai di meja kepala negara untuk untuk menunggu respon: diterima atau ditolak.
BACA JUGA:
Jika ditolak, maka keputusan yang dibuat cukup populer karena langsung bersinggungan dengan kepentingan rakyat kebanyakan. Akan tetapi, keputusan menolak berarti sama saja pemerintah menerapkan standar ganda dalam pendekatan penggunaan energi, karena di sisi lain RI cukup intens dalam menyuarakan isu perubahan iklim.
Satu hal lagi yang perlu diingat adalah keberlanjutan penggunaan premium dan pertalite berarti harus meneruskan program subsidi energi yang tentu saja menguras pundi-pundi negara.
Pilihan kedua adalah menghapus BBM beroktan rendah. Opsi ini tergolong kurang populer bagi masyarakat. Meski demikian, pilihan menggunakan energi ramah lingkungan mau tidak mau harus dimulai sedini mungkin.
Selain sebagai bentuk komitmen atas apa yang telah didengungkan selama ini (soal climate change), konsistensi dalam kegiatan ekonomi berprinsip hijau memperbesar peluang pendanaan maupun pembiayaan internasional.
Jadi, akankah Jokowi tetap berada dalam gerbong ‘wong cilik’ atau malah menjadi Presiden pertama RI yang berani menghapus bbm premium bersubsidi? Jawabannya ada di 2022.