JAKARTA - Video kerumunan di bar Holywings menjadi polemik di tengah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Pasalnya, ini bukan kali pertama terjadi di tempat itu. Pertanyaannya mengapa seperti tak ada efek jera bagi Holywings untuk mengulangi pelanggaran serupa?
Holywings Kemang, Jakarta jadi sorotan. Musababnya, terjadi kerumunan di bar yang beroperasi sampai tengah malam ini. Padahal, saat kejadian berlangsung ibu kota masih memberlakukan PPKM level 3.
Perkara di tempat nongkrong anak-anak muda ini bukan pertama kali terjadi. Pada Juni 2020 terdapat foto viral dr Titrta bersama rekannya di Holywings. Foto yang viral tersebut mengundang kekecewaan bagi banyak pihak dikarenakan sosok Tirta sangat aktif mengingatkan akan protokol kesehatan dan kampanye 'di rumah aja.'
Dalam foto tersebut tampak mereka mengenakan masker. Saat itu dr Tirta menekankan bahwa dirinya ke Holywings dalam rangka memberi masukan terkait pembukaan kembali tempat makan di masa PSBB Transisi di DKI Jakarta.
Selain itu, pada 24 Mei bar Holywings di Makassar juga membuat masalah serupa. Satgas COVID-19 membubarkan ratusan pengunjung, sementara pengelolanya dijatuhi tiga sanksi, di anataranya penitaan kursi hingga perabotan.
Selang tak berapa lama, pada 13 Juni, giliran Holywings cabang Semarang yang memicu amarah warga. Di tengah banyak orang menahan rasa bosan di rumahnya, bar tersebut malah membiarkan terjadi kerumunan. Aparat setempat menyebut sejumlah pengunjung di sana tak bermasker dan menjaga jarak.
Memang, pihak Holywings beberapa kali sempat membantu program vaksinasi pemerintah. Namun, upaya baik tersebut seolah percuma apabila tak dibarengi dengan penegakan prokes ketat di tengah pandemi yang belum usai ini.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyatakan sepatutnya kafe-kafe yang kedapatan melanggar aturan yang tengah diberlakukan selama pandemi ini akan diberikan sanksi dan ditindak sebagaimana aturan yang ada. yang melanggar mulai dari sanksi administrasi sampai pencabutan izin, bahkan dimungkinkan sanksi pidana.
Senada dengan Wagub Riza, Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan bahwa pihak berwajib akan melakukan pemeriksaan, semua yang terlibat dalam keramaian di Holywings secara maraton dan memprosesnya sesuai UU nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit. "Intinya kita tekankan lagi tidak ada tebang pilih, bukan cuma ini saja, siapa saja yang melanggar prokes di masa ppkm level 3 akan diproses semua," jelas Yusri lewat keterangan tertulis.
Penindakan memandang kelas?
Melihat fakta bahwa Holywings melanggaran prokes berkali-kali menimbulkan pertanyaan. Jangan-jangan pihak Holywings tak jera dengan sanksi yang ada? Atau apakah karena aparat yang kurang tegas? Berbeda dengan warung-warung kecil pinggir jalan yang sekali kena tindak langsung jera.
Beberapa waktu sebelumnya sempat terjadi pembubaran terhadap pelanggar aturan PPKM yang cukup keras, seperti penyiraman dengan air pemadam kebakaran hingga pembubaran yang memicu kericuhan. Dan tentu saja, cara penegakan aturan prokes seperti ini bukan di Holywings.
Untuk menjawab permasalahan ini, VOI menghubungi Pakar kebijakan publik Tubus Rahardiansyah. Ia menilai memang dalam penerapan hukum masih ada tebang pilih.
Padahal kata Trubus semua orang di mata hukum sama. Ia berpendapat ada permasalahan mendasar dalam implementasi penerapan aturan sehingga tidak ditegakan dengan baik.
"Yang terjadi dalam kasus Holywings memang banyak keraguan yang dilakukan oleh aparat, (atau) petugas PPKM. Aturannya sih sudah jelas, tidak boleh (membuat kerumunan). Tapi implementasi di lapangan yang menjadi masalah. Karena ada kesengajaan untuk membiarkan seperti itu, bisa jadi. Bisa juga mendapatkan keuntungan dari situ, backingan, bisa saja," ujar Trubus.
Ia menjelaskan, dalam penegakan aturan terdapat tiga teori. Substansinya yaitu aturannya, ada strukturnya yaitu aparat penegak hukumnya, dan ketiga adalah budaya hukum atau kedisiplinannya. Ketiga teori itu seharusnya korelatif. Namun untuk konteks Holywings ini, tidak. Aparat yang menindak seperti setengah hati.
Selain pihak penegak aturan dan pengelola yang lemah, masyarakat juga dalam euforia. Akhir-akhir ini kasus aktif COVID-19 menurun dan bagi masyarakat yang sudah vaksin lebih merasakan euforia tersebut. Hal tersebut yang semakin memicu keramaian.
"Seharusnya jika longgar pun juga masih ada pembatasan. Tapi kalau ini kan tidak. Terdapat unsur kesengajaannya tinggi. Sanksi yang didapat Holywings harusnya lebih besar," tambah Trubus.
Pemerintah harus berperan
Selain itu, pemerintah juga punya andil besar agar peristiwa kerumunan Holywings tak terulang kembali di tengah pandemi. Trubus menilai pemerintah kini seperti memberi kelonggaran namun seraya tak mengantisipasi dan terus menjaga agar semua pihak tetap menerapkan protokol kesehatan.
"Harusnya jika memang ada pelonggaran, disertai dua hal, pertama pengawasan yang ketat. Ini kan tidak ada pengawasan ketat. Kedua sanksinya seharusnya juga lebih tegas ketika ada pelonggaran. Misalnya ada orang melanggar, langsung diberi sanksi yang berat," jelas Trubus.
Kita tidak bisa menutup mata jika mungkin saja Holywings hanya satu dari banyak tempat yang mungkin saja melakukan pelanggaran yang sama. Viralnya kasus Holywings ini bisa menjadi efek kejut bagi kafe atau tempat-tempat hiburan lain yang memiliki kelonggaran seperti Holywings. Baik ketakutan di-viral-kan jika melanggar aturan atau justru saja menerapkan aturan yang lebih ketat.
Berapapun level PPKM yang diberlakukan, Trubus bilang itu semua berasal dari niat politik yang dimiliki oleh pemangku kebijakan. "Mau level 3 jika mau diperketat bisa saja. Level 2 mau diperketat ya bisa saja. Ini kan tentang bagaimana mengawasi protokol kesehatan. Seharusnya ada satgas COVID-nya juga di Holywings itu. Tapi kan ini enggak ada. Penggerebekan Holywings ini sebagai upaya pemerintah menutupi kelemahannya," imbuh Trubus.
Masalah lain yang bisa saja dikaji lebih dalam menurut Trubus yakni soal "nama besar" di balik Holywings. Setelah beberapa kali melanggar aturan, namun pihaknya seperti tidak ada efek jera. Pembiaran terlihat jelas dan seolah memandang sepele PPKM. Semua permasalahan tersebut menimbulkan kecemburuan sosial dan permasalahan yang sama akan terus terjadi ke depannya.
"Kebijakan kita ini kayak pemadam kebakaran, ada asap baru dipadamkan. Kebijakan kita ini (jelas) tebang pilih dan diskriminatif," tutup Trubus.
*Baca Informasi lain soal PROTOKOL KESEHATAN atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.
BERNAS Lainnya
BACA JUGA: