Bab Akhir Manifesto <i>Into the Wild</i>: Perjalanan Menuju Kesejatian Ala Chris McCandless
Christopher McCandless berfoto di depan Magic Bus (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Kamis, 18 Juni, bus bernomor 142 dengan cat hijau-putih itu diikat dengan rantai. Anggota Garda Nasional Alaska mengangkutnya dengan sebuah helikopter menuju lokasi yang dirahasiakan. Rentetan kematian di sudut kecil di Jalur Stampede, Alaska itu diharapkan berakhir. Pemindahan bus ini juga berarti bab terakhir "Into the Wild", perjalanan terkenal yang dilakukan Christopher Johnson McCandless. Manifesto menuju kesejatian yang menginspirasi banyak orang.

"Magic Bus", begitu Chris menyebut bus tersebut. Chris begitu bahagia menemukan rumah yang hangat di tengah perjalanannya menuju kehidupan liar. Di rumah hangat itu, pada 19 Agustus 1992, Chris meninggal. Empat tahun setelah kepergiannya, kisah Chris diabadikan dalam buku Into the Wild. Pada 2007, sebuah film adaptasi dirilis dengan judul sama.

Kisah perjalanan Chris begitu masyhur di kalangan penggila petualangan. Bertahun-tahun, dalam jumlah tak terhitung, orang-orang mencoba menelusuri langkah-langkah Chris yang dirinci dalam buku Into the Wild. Selama itu juga otoritas melakukan penyelamatan terhadap mereka yang terjebak.

Bahkan, tercatat, dua orang meninggal dalam perjalanan berbahaya itu. Veramika Maikamava, seorang wanita berusia 24 tahun dari Belarus, meninggal tahun lalu. Ia tersapu arus Sungai Teklanika yang kuat. Suaminya baru bisa mengangkat jasad Veramika di hilir. Lainnya, seorang wanita Swiss, Claire Ackermann, 29, tenggelam pada 2010 setelah mencoba mengarungi sungai yang sama.

Jon Krakauer, penulis buku Into the Wild konon sempat kebingungan. Carine McCandless, kakak Chris, menceritakan bagaimana Krakauer berkali-kali berdiskusi dengan keluarga mengenai apa yang harus dilakukan kepada Magic Bus, bahkan ketika otoritas menyatakan akan memindahkan bus tersebut.

"Itu benar-benar membuatku sedih ... Tempat ini telah dinodai dan sekarang telah dihancurkan," katanya kepada Washington Post.

Krakauer kerap kali berang. Ia tahu, para petualang melakukan perusakan terhadap situs kematian Chris. Pada kunjungan pertamanya ke Magic Bus, Juli 1993, Krakauer menemukan Magic Bus dalam kondisi asli. Sepatu bot Chris, buku, hingga sikat gigi Chris masih di sana. Begitu juga dengan celana jins yang dibiarkan mengering di atas kompor.

Namun, dalam perkembangannya, Chris tahu, para 'peziarah' merusak situs itu. Mereka mencuri potongan-potongan kecil dari situs Magic Bus dan meninggalkan sampah-sampah berserakan. Ia mengakui rasa bersalah terhadap gelombang petualang ke dataran rendah berangin di Alaska, terlebih bagi Veramika dan Claire yang tak bisa pulang.

"Saya berharap bus bisa tetap seperti itu (kunjungan pertama 1993)," kata Krakauer. "Tapi aku menulis buku yang menghancurkannya."

Inspirasi dari kematian Chris McCandless

Banyak orang yang mengecam Chris sebagai orang yang naif. Buat mereka, perjalanan yang Chris lakukan tak lebih dari upaya bunuh diri. Namun, gelombang para petualang jelas membuktikan sisi lain dari kematian Chris: inspirasi. Manifesto perjalanan Chris menuju kesejatian banyak diamalkan banyak orang.

Dilansir dari Era.id, Perjalanan McCandless menuju alam liar dimulai pada Mei 1990. Tak lama setelah menerima gelar sarjana predikat cum laude dari Universitas Emory, ia menyumbangkan seluruh tabungan 24.000 dolar AS dan memutus seluruh komunikasi dengan keluarga serta teman-temannya. Saat itu, tujuan McCandless adalah Fairbanks, Alaska, di mana ia berencana menghabiskan waktu sendirian, menemukan kesejatian di dalam dirinya.

McCandless mengawali perjalanan dengan berkendara ke Arizona, sebelum mobilnya jadi tak berguna akibat banjir bandang di sekitar Danau Mead. Dari sana, McCandless melanjutkan petualangannya dengan berjalan kaki, menyusuri Amerika Serikat bagian barat dengan naik ke kereta barang dan menumpang kendaraan orang-orang asing, sesekali.

Setelah kembali memasuki wilayah AS pada tahun 1991, McCandless menghabiskan sebagian besar musim gugur tahun itu untuk bekerja di McDonald's di kawasan Bullhead City, Arizona. McCandless juga sempat tinggal di Salton City, California, sebelum menetap di Carthage, tempat ia menyusun rencana soal petualangannya di Alaska.

Selanjutnya, perjalanan ke Alaska benar-benar dilanjutkan. Perjalanan ditempuh McCandless dengan menumpang melewati Kanada hingga mencapai Fairbanks melalui jalan bebas hambatan Alaska pada 25 April 1992. Tiga hari di Fairbanks, McCandless melanjutkan petualangannya dengan menumpang ke Jalur Stampede.

Jim Gallen, salah satu warga lokal yang memberi tumpangan kepada McCandless bercerita, McCandless menyampaikan gagasannya untuk 'hilang' dan sepenuhnya menyatu dengan alam. McCandless bahkan memberikan arlojinya kepada Jim dan membuang seluruh sisa perbekalan, termasuk uang 85 sen dan peta. Menurut Jim, McCandless ingin menuju tempat di mana tak ada seorang pun.

Jim juga mengatakan, saat itu ia telah memperingatkan McCandless bahwa perbekalannya jauh dari cukup. Menurut Jim, McCandless saat itu hanya membawa 4,5 kilogram beras dan beberapa koleksi buku. Selain itu, tak ada yang lain kecuali pakaian dan senapan kaliber 22 yang menurut Jim bahkan tak layak untuk membunuh seekor rusa, apalagi melindungi dirinya dari serangan beruang.

Kepada Jim, McCandless menyebut Laut Bering sebagai tujuannya. Sayang, McCandless tak pernah betul-betul mencapai Laut Bering. Jalur Stampede dan magic bus jadi akhir dari perjalanannya. Kisah McCandless telah sejak lama jadi diskursus. Beberapa menyambut baik pemikiran McCandless, meski segelintir lainnya menyebut McCandless dan petualangannya sebagai hal tak berguna.

Dalam sebuah manifesto yang ditulis di sebuah kayu lapis, McCandless menyebut dirinya sebagai ekstremis dan pengembara. Dalam manifesto itu, McCandless juga menyebut jalanan sebagai rumahnya. Manifesto itu kemudian ditandatangani McCandless dengan inisialnya yang baru: Alexander Supertramp. Sejak manifesto itu, McCandless juga dikenal sebagai Alex, Alexander Supertramp.

"Ini adalah pertempuran klimaks di dalam diri saya, untuk membunuh makhluk penuh kepalsuan di dalam (diri) demi mencapai kemenangan sejati lewat revolusi spiritual," tertulis dalam manifesto itu.

McCandless adalah atlet berprestasi sekaligus anak dengan catatan cemerlang di bidang akademis. McCandless dikenal sebagai orang yang pandai dalam ilmu sejarah dan antropologi. Selain itu, kehidupannya di universitas ia habiskan untuk menulis surat kabar kampus. Saat lulus dari Universitas Emory, McCandless telah mendapat tawaran untuk melanjutkan kuliah jurusan hukum di Harvard.

Lahir di El Segundo, California, AS pada 12 Februari 1968, McCandless lahir di tengah keluarga kaya raya. Ayahnya, Walter McCandless adalah seorang teknisi senior di NASA. Walter juga memiliki perusahaan konsultan di bidang teknologi. Sang ibu, Wilhelmina Johnson bekerja sebagai konsultan sukses di tempat tinggal mereka.

Meski dibalut segala kemapanan dan kecemerlangan, jati diri McCandless sejatinya tak di sana. Baginya, kedua orang tuanya adalah figur masyarakat kelas menengah yang hipokrit dan munafik. Kondisi inilah yang membawa McCandless ke dalam petualangan menuju alam liar, menuju perjalanan yang ia temukan sendiri.

Di balik kontroversinya, perjalanan McCandless telah menginspirasi banyak orang. Ia disebut sebagai pengamal tradisi David Thoreau --seorang filsuf Amerika Serikat-- sejati. Bagi para pemujanya, petualangan McCandless diyakini sebagai penggerak pemikiran untuk menolak kacaunya sistem masyarakat lewat pencarian jati diri di alam bebas. Seperti kata-kata Thoreau yang dikutip McCandless dalam salah satu manifestonya.

”Rather than love, than money, than faith, than fame, than fairness… Give me truth.”