Bagikan:

JAKARTA - Pagebluk COVID-19 menuntut dunia ke tatanan baru. New normal atau kenormalan baru, orang-orang menyebutnya. Hal ini menuntut revolusi di banyak sektor kehidupan, termasuk pendidikan di perguruan tinggi. Belajar mengajar kini dilakukan daring. Tak ada pertemuan di kelas, apalagi diskusi intelektual di lorong-lorong kampus. Pertanyaannya, kapan bayaran turun, mengingat fasilitas kampus tak lagi digunakan mahasiswa.

Beberapa waktu belakangan, jagat maya diramaikan dengan tagar #MendikbudDicariMahasiswa. Gerakan ini jadi gambar keresahan mahasiswa. Mereka menuntut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim untuk segera ambil langkah meringankan uang kuliah tunggal (UKT) selama masa pagebluk COVID-19.

Hal ini jadi masalah global. Mahasiswa dan orang tua di seluruh dunia disesakkan keresahan yang sama. Mereka frustasi dengan pola belajar mengajar ala pagebluk, yang mereka sebut sebagai instruksi pendidikan di bawah standar. Banyak kelas dibatalkan. Mahasiswa tak lagi dapat memanfaatkan fasilitas kampus macam laboratorium dan perpustakaan.

Di New York University, misalnya. Di kampus itu, biaya kuliah diklaim mencapai 53.308 dolar AS untuk periode 2019-2020. Dilansir US News, mahasiswa menyatakan tak bisa mendapat apa yang telah mereka bayar. Mereka mengatakan, tak ada pengembalian uang untuk kelas-kelas yang telah dibayar. Mereka frustasi pada kelas yang dilakukan lewat Zoom dan jadwal yang tak jelas. Unsur-unsur pendukung pendidikan seperti uji coba, proyek seni atau pengalaman klinis pun tak didapat.

Ilustrasi foto belajar mengajar di sebuah kampus (Mikael Kristenson/Unsplash)

Sederhananya, "Universitas Zoom tidak bernilai 50 ribu dolar per tahun," kata seorang mahasiswa menulis di sebuah petisi yang menyerukan Universitas New York mengembalikan sebagian uang sekolah. Mahasiswa lainnya berpendapat, "Saya membayar uang sekolah bukan untuk menghadiri kelas di Zoom."

Di Inggris pun begitu. Pemerintah memberlakukan peraturan serupa. Mahasiswa Universitas di Inggris masih harus membayar biaya kuliah secara penuh, walaupun sebagian kelas dilakukan daring. "Kami tidak yakin mahasiswa berhak mendapatkan penggantian (dana pendidikan) jika kualitasnya (proses belajar mengajar) masih ada," kata Menteri Perguruan Tinggi Inggris Michelle Donelan.

Melansir BBC, Donelan juga mengatakan tak ada keputusan resmi yang diambil pada tahun akademik berikutnya. Tetapi, jika kelas diadakan daring dan "siswa benar-benar mendapatkan kualitas dan mereka mendapatkan pengajaran yang sesuai dengan tujuan", mereka tidak akan mendapatkan diskon biaya.

Pada awal Mei, mahasiswa di Korea Selatan (Korsel) juga menuntut pengembalian uang kuliah karena banyak kelas yang diadakan secara daring selama pagebluk. Petisi ke Mahkamah Konstitusi digulirkan. Mereka menuntut Mahkamah menetapkan dasar hukum untuk mengurangi biaya kuliah dalam waktu krisis. Langkah tersebut diambil setelah Departemen Pendidikan dan pihak universitas saling lempar soal siapa yang bertanggung jawab atas pengembalian uang bagi ribuan mahasiswa.

Pemerintah berargumen, tidak ada dasar hukum untuk menetapkan pengurangan biaya di seluruh negara karena pembatalan kelas tatap muka. Wakil Menteri Pendidikan Korsel Park Baeg-beom mengatakan pada awal April bahwa pengembalian uang sekolah adalah "masalah yang harus diputuskan oleh pemimpin universitas".

Bagaimana di Indonesia?

Kami harus mengatakan, tak ada info berarti di Indonesia. Nadiem, hingga saat ini belum memberi jawaban apa pun terkait tuntutan mahasiswa. Namun, pengamat pendidikan Darmaningtyas meyampaikan sejumlah dorongan yang harus dilakukan pemerintah.

Pertama, tentu saja menggratiskan UKT mahasiswa di semester ganjil mendatang. "Yang dipersoalkan kan pasti yang akan masuk bulan Juli atau semester ganjil. Karena kuliahnya juga tidak jelas, ya lebih baik dibebaskan," katanya, ditulis Kompas.com, Selasa, 2 Juni.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim (Irfan Meidianto/VOI)

Menurut Darmaningtyas, pada prinsipnya, UKT digunakan untuk menambah biaya operasional pendidikan di kampus. Karenanya, ketika proses belajar mengajar dilakukan dari jarak jauh, tak ada alasan bagi mahasiswa, khususnya kampus negeri, untuk membayar. "Mahasiswa berarti kan tidak memanfaatkan fasilitas kampus. Dosennya, kalau di negeri kan sudah dibayar negara," jelas dia.

Lebih lanjut, Darmaningtyas mengatakan, kampus dapat menggunakan bantuan operasional pendidikan (BOP) untuk membiayai hal-hal teknis di kampus. Pemeliharaan, listrik, dan kebersihan, misalnya. Apalagi kampus negeri. "Kampus negeri itu kan tak ada yang tidak disubsidi pemerintah. UKT itu untuk mengoptimalkan proses pembelajaran, karena anggaran dari pemerintah terbatas," terang dia.

Jepang punya cara

Di Jepang, penerapan aturan berbeda. Kabinet Jepang menyetujui sebuah program untuk menyediakan hingga 200 ribu yen atau sekitar 2 juta rupiah secara tunai kepada masing-masing mahasiswa di negara itu. Bantuan itu diharapkan bisa membantu mahasiswa membayar biaya pendidikannya. Sebuah langkah menarik, mengingat Jepang jadi salah satu negara yang turut terpukul secara finansial oleh COVID-19.

Dilansir Japan Times, Jepang sebelumnya telah menyisihkan 53 miliar yen sebagai anggaran tambahan pertamanya untuk tahun fiskal 2020 untuk program tersebut. Yang memenuhi syarat untuk program penerimaan uang tersebut adalah mahasiswa pascasarjana dan sarjana di universitas, siswa di perguruan tinggi junior, mahasiswa teknik, mahasiswa kejuruan, serta pelajar asing yang belajar di sekolah bahasa Jepang.

"Sangat penting bagi siswa untuk tidak melanjutkan dan memajukan pendidikan mereka. Kami ingin segera memberikan bantuan kepada semuanya," kata Menteri Pendidikan Jepang Koichi Hagiuda.

Beberapa universitas di Jepang juga berinisiatif mengurangi biaya pendidikan. Universitas Shibaura, misalnya. Mereka menyatakan akan mengurangi biaya kuliah untuk semua siswa pada semester kedua tahun sekolah sebesar 60 ribu yen. Jumlah tersebut diharapkan pihak universitas dapat dialokasikan untuk biaya internet penunjang kelas daring yang sudah dimulai sejak April.