Mendalami Teknik dan Prosedur Pengekangan Leher Nan Mematikan Ala Polisi Minneapolis
Ilustrasi (Pawel Janiak/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Sebelum kematian George Floyd terjadi, tindakan pengekangan leher dalam proses penangkapan seseorang memang sudah menjadi polemik di Amerika Serikat (AS). Yang paling ekstrem, prosedur itu dianggap legitimasi aparat untuk mencabut nyawa seseorang. Kita dalami prosedur tersebut, khususnya dalam penerapannya oleh polisi Minneapolis.

Ada semacam masalah, memang. Menurut riset NBC News, sejak 2015, polisi Minneapolis telah membuat 44 orang tak sadarkan diri karena melakukan pengekangan leher.

Dari 2015 sampai sekarang, setidaknya ada 237 tindakan pengekangan leher. 16 persen di antaranya menyebabkan seseorang mengalami hilang kesadaran.

Sementara, menurut data Kepolisian Minnesota, tiga dari lima orang yang jadi korban pengekangan leher tersebut adalah warga kulit hitam. Fakta ini memancing polemik tersendiri soal sentimen institusi penegak hukum terhadap kulit hitam.

Prosedur

Dalam melancarkan tindakan pengekangan leher, petugas tidak boleh asal. Segala prosedur sejatinya telah diatur dalam panduan. 

Dalam panduan penindakan Kepolisian Minneapolis (MPD) dijelaskan, pengekangan leher harus dilakukan oleh petugas yang telah lulus pelatihan, telah bersumpah, dan sudah diberikan kewenangan, tentunya. Ada tiga jenis prosedur pengekangan leher, dari yang paling ringan sampai yang paling mematikan.

Prosedur pengekangan leher didefinisikan sebagai tindakan menekan salah satu atau kedua sisi leher seseorang dengan lengan atau kaki. Namun, tak sembarangan. Tindakan tidak boleh memberikan tekanan langsung ke trakea atau jalan napas --bagian depan leher.

Kepolisian Minneapolis membagi dua jenis pengekangan leher: secara sadar dan tidak sadar. Yang pertama, prosedur yang paling ringan adalah pengekangan leher secara sadar. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengendalikan subjek, namun tetap dalam keadaan sadar, hanya dengan menerapkan tekanan ringan hingga sedang.

Kemudian, yang kedua, prosedur pengekangan leher tidak sadar. Pada tingkatan ini, pengekangan leher bertujuan untuk membuat orang tidak sadarkan diri dengan memberikan tekanan yang memadai. 

Dan yang terakhir yang paling mematikan adalah prosedur "Choke Hold". Opsi paling mematikan. Pada tindakan ini, aparat memberikan tekanan langsung pada trakea atau jalan napas seseorang (depan leher) sehingga menghalangi jalannya pernapasan.

Teknik

Sementara itu, pada gambar prosedur pengekangan leher dari Kepolisian Fort Wayne yang diwartakan WANE 15 News terlihat sejumlah teknik berdasarkan beberapa tingkatan, mulai dari yang paling keras sampai yang paling lunak. Dari gambar itu, teknik tersebut seharusnya dilakukan dari belakang badan seseorang dan dilakukan dengan posisi berdiri.

Pada tingkatan pertama, lengan mencekik leher dengan membentuk sudut nol derajat, dengan kompresi minimum. Kemudian, level dua, lengan membentuk sudut 20 derajat, dengan kompresi sedang. Dan terakhir, level tiga, lengan membentuk 45 derajat dengan kompresi maksimal.

Teknik pengekangan leher

Yang dialami George Floyd

Yang dilakukan polisi pembunuh Floyd, Derek Chauvin adalah penyalahan fatal, baik secara prosedur ataupun teknik. Mantan Sersan Pasukan Pertahanan Israel yang bertahun-tahun melatih teknik beladiri kepolisian Amerika Serikat, Maria Haberfeld, menyatakan tak pernah melihat teknik pengekangan leher seperti yang dialami Floyd. 

"Namun, saya melihat video ini. Dia menghancurkan leher Floyd. Sejauh yang saya tahu, itu bukan teknik pelatihan yang sah pada 2020 ini," katanya kepada Buzzfeed News.

Merujuk panduan MPD, pengekangan leher secara sadar, harus digunakan pada orang yang secara aktif memberontak. Sementara, pengekangan leher secara tidak sadar, dilakukan pada tersangka yang menunjukkan serangan aktif, resistensi aktif, atau tujuan untuk menyelamatkan diri. 

Kebijakan tersebut menyatakan pengekangan leher tidak boleh diterapkan terhadap subjek yang menolak secara pasif. Dalam kasus Floyd, ia tampaknya sudah diborgol dan tidak dianggap melakukan kekerasan atau ancaman. Ia juga tidak bersenjata.

Haberfeld menambahkan, insiden seperti Floyd ini memaparkan perlunya prosedur standar kepolisian berdasarkan penelitian ilmiah dan praktik terbaik.

"Kita melihat terlalu banyak insiden ini yang seharusnya tidak terjadi karena ada orang yang salah dalam profesi ini dan profesi ini tidak dapat membayarnya. Ini masalah hidup dan mati," tegasnya.