JAKARTA - George Floyd, seorang pria kulit hitam berusia 46 tahun, tewas dibunuh polisi Minneapolis. Floyd tewas di hadapan banyak orang yang tak dapat berbuat banyak kecuali merekam. Bukan menghakimi orang di sekeliling Floyd kala itu. Tapi, nyatanya, kebiasaan merekam ketimbang bertindak memang menambah ironi isu rasisme di Amerika Serikat (AS).
Floyd tersungkur menghadap aspal. Tangannya terborgol ke belakang. Di atasnya, seorang polisi menghimpit leher Floyd dengan lutut. Tingkah si penegak hukum nampak arogan. Ia tak mengendurkan tekanannya pada leher Floyd, meski Floyd telah berkali-kali merintih, "saya tak bisa bernapas!"
Teriakan Floyd tiba-tiba berhenti. Ia tewas. Pembunuhan Floyd memicu sentimen rasial, mendorong ribuan orang turun ke jalan. Aksi massa berujung pembakaran kantor polisi dan bentrokan.
Namun, kematian Floyd juga mengingatkan kita pada pandangan terkenal aktor kulit hitam AS, Will Smith tentang isu rasisme di AS. "Ketika saya mendengar orang mengatakan itu (rasisme) lebih buruk daripada sebelumnya, saya tidak setuju sepenuhnya," kata Smith membandingkan isu rasial hari itu dengan tahun 1960-an atau 1860-an, kami kutip dari Hollywood Reporter, Jumat, 29 Mei.
"Rasisme tidak menjadi lebih buruk, itu difilmkan."
Pernyataan Smith sempat dipertanyakan banyak publik AS, meski mungkin bukan masalah besar saat itu, mengingat AS masih di bawah kepimpinan Barack Obama. Di bawah Obama, isu rasisme memang nampak lebih terkendali. Kami menggunakan kata "nampak" karena nyatanya anggapan itu tak sepenuhnya benar. Jika boleh beranalogi, hanya karena presidenmu wong cilik, bukan berarti ia mampu membereskan masalahmu, wahai wong cilik.
Kami mengutip data laporan Departemen Hukum AS mengenai kejahatan rasial. Pada 2016, tercatat 3.571 kejahatan rasial. Angka itu meningkat di tahun 2017 menjadi 4.131 kasus. Pada 2018, berdasar laporan yang diserahkan 16.039 lembaga penegak hukum AS, tercatat 4.047 insiden kejahatan rasial.
Angka itu menurun, sejatinya. Namun, data Pew Research Center menyatakan, orang dewasa kulit hitam dan kulit putih memiliki persepsi yang sangat berbeda tentang bagaimana orang kulit hitam diperlakukan di AS. Namun kedua kelompok tersebut sepaham bahwa orang kulit hitam diperlakukan kurang adil daripada orang kulit putih dan dalam berurusan dengan polisi.
BACA JUGA:
Sekitar enam dari sepuluh orang kulit hitam atau lebih, mengatakan bahwa orang kulit hitam diperlakukan kurang adil daripada orang kulit putih dalam hal pekerjaan, bayaran, dan promosi jabatan. Orang kulit hitam juga mengalami kesulitan di sektor lain, yaitu pada saat mengajukan pinjaman atau hipotek, saat memberikan suara dalam pemilu, dan ketika mencari perawatan medis. Sementara, orang kulit putih cenderung mengatakan orang kulit hitam dan orang kulit putih diperlakukan sama.
Ironis. Lebih dari 150 tahun setelah Amandemen ke-13 menghapuskan perbudakan terhadap kulit hitam di AS, namun sebagian besar rakyatnya merasakan warisan perbudakan masih berdampak pada posisi orang kulit hitam dalam masyarakat di AS hingga sekarang. Survei Pew Research Center untuk kulit hitam dan kulit putih juga menunjukkan bahwa AS belum membuat kemajuan yang cukup menuju kesetaraan rasial.
"Semakin parah dan difilmkan"
Banyak orang yang skeptis atas penyelesaian permasalahan rasial di AS, khususnya kalangan orang kulit hitam. Mereka berpendapat bahwa orang kulit hitam tidak akan pernah memiliki hak yang sama dengan orang kulit putih. Tak hanya kulit hitam, orang Asia seperti China-Amerika pun juga mengalami diskriminasi di negara tersebut.
Menyusul kasus Floyd, pernyataan Smith pun kembali diangkat oleh sejumlah orang, termasuk beberapa figur publik. Rapper kondang, Snoop Dogg, misalnya. Di akun Instagramnya, Snoop mengunggah kutipan Smith di Late Show. Tanpa menulis keterangan, unggahan Snoop justru diterjemahkan publik.
Sebagian menangkap hal tersebut sebagai sindiran Snoop terhadap pandangan politik Smith di masa lalu. Lainnya merespons dengan mengutuk puluhan orang yang mengelilingi Floyd ketika disiksa polisi Minneapolis, yang alih-alih menolong, justru hanya bisa merekam.
"Ini adalah propaganda kelompok sayap kiri," tulis akun @kobe_farmar merujuk pada Partai Demokrat yang dihuni Obama.
"Aku pernah menghajar adikku habis-habisan ketika ia pulang ke rumah dari Minnesota dan menunjukkan video perundungan terhadap teman kulit hitam di sekolahnya oleh anak-anak kulit putih. Maksudku, kenapa orang-orang tidak bertindak?!," akun @larountyler di kolom komentar unggahan Snoop.
Di 2014, terdapat kasus yang melibatkan polisi terhadap Michael Brown, seorang remaja Afrika-Amerika. Saat itu polisi bernama Darren Wilson memperhatikan bahwa terdapat sebungkus cerutu di tangan Brown. Wilson lalu mendapatkan laporan bahwa terdapat pencurian cerutu dan saat itu Wilson berhadapan dengan Brown yang tidak bersenjata.
Brown saat itu bersama temannya berjalan di tengah-tengah Canfield Drive, sebuah jalan dua jalur yang sibuk. Wilson lalu menyuruh mereka untuk jalan di trotoar. Saat Brown menuju mobil Wilson, perselisihan pun dimulai. Brown berlari. Tiba-tiba, remaja tersebut berbalik ke arah Wilson. Wilson mengaku kepada penyelidik bahwa Brown tampak 'psikotik' dan melawan.
Wilson menembakkan beberapa peluru sebagai peringatan. Namun, Brown terus menghampiri Wilson, hingga akhirnya Wilson menembakkan timah panas terakhir ke arah kepala Brown.
BACA JUGA:
Ada kesamaan dalam kasus Floyd dan Brown. Keduanya sama-sama berurusan dengan polisi dan orang-orang di sekitarnya merekam kejadian tersebut. Saat kejadian yang menimpa Floyd, orang-orang merekam peristiwa itu tanpa memberi sedikit pun pertolongan nyata. Dalam kasus Brown pun demikian. Bahkan, orang-orang hanya sibuk merekam jasad Brown yang dibiarkan terkapar selama empat jam.
Dalam ilmu psikologi sosial, situasi itu dikenal dengan "The Bystander Effect", yaitu kondisi di mana kehadiran orang lain menghambat seseorang untuk campur tangan dalam situasi darurat. Dalam kasus yang menimpa Floyd, alih-alih menolong, orang di sekitar Floyd justru berharap ada orang lain yang menolong atau mereka berharap polisi segera sadar bahwa tindakannya salah.
Dalam The Bystander Effect, sikap pasif itu menular, memendam inisiatif individu untuk memberi pertolongan. Orang-orang lebih cenderung mengambil tindakan dalam suatu krisis ketika hanya ada sedikit atau tidak ada saksi lain yang hadir. Sebaliknya. Semakin besar jumlah orang yang menyaksikan suatu peristiwa, semakin kecil kemungkinan seseorang merespons atau bertindak secara individu.
BACA JUGA:
Kelumpuhan sosial dan perilaku yang digambarkan The Bystander Effect dapat dikurangi dengan melatih kesadaran diri. Dalam beberapa kasus, pelatihan harus dilakukan secara eksplisit. Misalnya, sekolah dan kampus wajib mendorong siswa berbicara ketika menyaksikan tindakan intimidasi atau potensi serangan. Salah satu teknik adalah berperilaku seolah-olah dia adalah orang pertama atau satu-satunya yang menyaksikan masalah tersebut.
Dengan kata lain, sikap pasif memang harus dilawan. Pola sosial yang serba individual, bagaimana pun memperkuat The Bystander Effect. Tanpa kesadaran ini, manusia akan semakin terkurung dalam ketidakpedulian. Jika sudah begitu, bukan hanya manusia yang mati, tapi juga kemanusiaan.