JAKARTA - Lebih dari sebelas ribu mahasiswa di Wuhan, China, gegap gempita merayakan wisuda kelulusan tanpa masker dan tanpa jaga jarak. Acara itu berlangsung 13 Juni minggu lalu. Tak ada prokes di sana. Sementara Indonesia, kemarin mencatatkan angka kasus COVID-19 fantastis: 20.574. Bagaimana Wuhan bisa kembali normal sementara pandemi Indonesia memburuk?
Wisuda itu digelar di Central China Normal University. Dalam cuplikan video SCMP terlihat belasan ribu mahasiswa itu duduk berjajar di tengah lapangan luas. Sesekali terlihat mereka melambaikan tangan ke kamera sambil melontarkan senyum tanpa dihalangi masker.
Padahal sebelumnya Wuhan merupakan episentrum penyebaran wabah COVID-19 yang dipercaya menjadi tempat pertama kali ditemukannya virus corona baru. Tepat pada 23 Januari tahun lalu, dunia pertama kalinya melihat suatu daerah lockdown akibat virus corona.
Pada saat itu dunia dikejutkan oleh pembatasan ketat dan penegakan hukum yang kaku. Dari akhir Januari hingga Juni, kota itu secara efektif ditutup dari bagian lain Negara Tiongkok.
Meskipun menghabiskan anggaran jumbo, metode itu terbukti sangat sukses untuk mengatasi virus. Potret belasan ribu wisudawan tadi menjadi salah satu buktinya.
Bukti lainnya bisa kita lihat dari data kasus COVID-19 baru di China. Melihat data worldometer, sejak 6 Maret 2020 sampai 25 Juni sekarang, kasus hariannya tak pernah melebihi seratus. Rata-rata hanya puluhan kasus baru di China dalam periode tersebut.
Mungkin lockdown bukan cara tunggal bagaimana China khususnya Wuhan bisa kembali normal seperti sekarang. Lantas apa sebenarnya yang membuat Wuhan bisa kembali normal?
Bukan karena otoritarianisme
Orang-orang di China kini sudah dapat bergerak bebas. Mungkin banyak orang percaya bahwa orang Tionghoa dapat menikmati kebebasan ini karena rezim otoriter China. Namun menurut Akademisi Kesehatan China, Elanah Uretsky jawaban atas kesuksesan China mengendalikan pandemi lebih dari itu.
Menurut penelitiannya yang dimuat The Conversation, Associate Professor International and Global Studies, Brandeis University tersebut menjelaskan, pengendalian virus di China bukanlah hasil dari kebijakan otoriter, tapi dari prioritas kesehatan nasional. Sebelum pandemi COVID-19, China sudah mendapat pelajaran keras dari penyebaran wabah SARS.
Pada awal-awal mewabah, virus corona baru menginfeksi lebih dari 80.000 orang di Wuhan dalam tiga bulan dan menewaskan 3.000 orang. Pemerintah setempat sontak mengambil langkah cepat yakni melakukan lockdown total.
Keadaan semakin buruk ketika kapasitas medis China mulai kewalahan. Kemudian pihak berwenang mengejutkan dunia karena mereka berhasil mendirikan rumah sakit besar hanya dalam beberapa hari.
Metode yang digunakan di Wuhan yakni lockdown dan pengujian massal selanjutnya diterapkan secara rutin di wilayah lain seperti Beijing dan Shanghai. Hal ini terjadi dalam waktu berbulan-bulan.
Tujuh bulan berlalu setelah lockdown Wuhan, China mengkonfirmasi 9.100 kasus tambahan dan mencatat 1.407 kematian lagi akibat COVID-19. Tapi setelah itu keadaan mulai membaik. Warga China sudah mulai bisa bepergian, makan di restoran dan pergi ke bioskop. Sementara anak-anak pergi ke sekolah tanpa terlalu mengetatkan protokol kesehatan.
Varian baru corona masih mengancam
Sementara itu, Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, Dicky Budiman mengatakan mengapa Wuhan bisa relatif normal merupakan buah dari korban yang besar sebelumnya. Menurut Dicky salah satu faktor terbesar mengapa virus corona bisa terkendali di sana adalah karena kuatnya respon otoritas.
"Lockdownnya aja sudah dua kali kalau gak salah. Testingnya itu luar biasa. Ketika ada dugaan saja, seluruh warga dites semua tanpa terkecuali, 11 juta itu dites. Jadi jangan dilihat enaknya sekarang saja, itu responnya juga luar biasa," kata Dicky kepada VOI.
Meski Wuhan kini sudah relatif normal, bukan berarti China terbebas dari ancaman virus corona varian baru. Buktinya akhir Mei lalu, China me-lockdown sebuah kawasan di Kota Guangzhou. Sebab, kota yang menampung hampir 15 juta orang itu melaporkan 20 kasus baru COVID-19 dalam sepekan.
Pemerintah mengambil langkah cepat dengan memerintahkan penduduk untuk tidak keluar rumah sampai pengujian COVID-19 dari rumah ke rumah rampung. Pasar, sekolah, dan tempat hiburan ditutup.
"Masih ada potensi penularan. Jadi China sendiri belum aman. Enggak ada yang aman apalagi kalau bicara varian delta," ujar Dicky.
Yang bisa dipelajari
Namun Bila dibandingkan dengan Indonesia tentu kondisi China jauh lebih baik. Seperti kita tahu, per 24 Juni kemarin, jumlah kasus COVID-19 di Indonesia meningkat tajam mencapai 20.574.
Menurut Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Satria Wiratama, tren kenaikan kasus COVID-19 di Indonesia tak hanya disebabkan oleh varian baru saja. Menurutnya masyarakat mulai lalai dalam melakukan protokol kesehatan.
Selain masyarakat yang abai, pemerintah juga dianggap kurang maksimal dalam menerapkan 3T yakni testing, tracing, dan treatment. "Kenaikan wajar karena 3T kurang dan masyarakatnya abai sama 5M," kata Bayu dilansir laman UGM.
Lantas, adakah yang bisa Indonesia pelajari dari penanganan virus China?
Epidemiolog Dicky Budiman mengatakan apa yang bisa dipelajari dari China tak lain soal respon yang tegas, cepat, kuat dan tentunya berbasis sains. Selain itu juga 3T yang masif dari China juga menurut Dicky patut ditiru.
"Yang jelas yang bisa kita pelajari, respon yang tegas, cepat, kuat berbasis sains. Respon yang didukung yang pusat ini berdampak pada cepatnya pemulihan. Ya walaupun masih ada kekurangan seperti transparansi data yang menjadi isu. Tapi di luar itu responnya bagus. Dengan 3T yang masif, kemudian 5Mnya juga," pungkasnya.
*Baca informasi lain tentang COVID-19 atau tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.