JAKARTA - Kasus pemerkosaan perempuan 16 tahun oleh Briptu Nikwal Idwar di Kantor Polisi Jailolo Selatan, Halmahera Barat membuat masyarakat geram. Bagaimana tidak. Polisi yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat justru berbuat bejat. Meski begitu, masih ada pihak yang menyebut kejahatan ini dilakukan oleh oknum. Apakah kasus yang terjadi di kantor aparat penegak hukum ini masih pantas disebut dilakukan oleh oknum?
Peristiwa keji itu terjadi pada 13 Juni. Berdasarkan reka adegan yang digelar Polda Maluku Utara, Kabid Humas Polda Maluku Kombes Adip Rojikan menceritakan korban --sebut saja Bunga-- yang berasal dari Halmahera Selatan berencana pergi ke Ternate dengan seorang temannya berinisial A (19), selanjutnya disebut Mawar.
Bunga dan Mawar menyebrang dari Pulau Bacan ke Saketa di Pulau Halmahera menggunakan feri. Ketika hendak melanjutkan perjalanan lewat Sidangoli hari keburu petang. Dan karena tak menemukan angkutan umum untuk melanjutkan perjalanan, tepat jam satu dini hari waktu setempat, keduanya masuk kamar penginapan untuk beristirahat.
Berdasarkan informasi yang beredar di media sosial, kemudian pintu kamar mereka digedor oleh polisi, meminta keduanya ikut ke kantor Polsek Jailolo Selatan. Mereka lantas diangkut menggunakan mobil patroli yang menjemput.
Sesampainya di kantor, Bunga dan Mawar kabarnya diinterogasi seputar aksi pelarian. Padahal, menurut informasi yang beredar, keduanya bepergian atas izin orang tua masing-masing.
Di ruangan inilah Bunga bertemu Briptu Nikwal Idwar. Seusai investigasi, Bunga dan Mawar memutuskan beristirahat di salah satu ruangan Polsek. Briptu Nikwal Idwar kemudian menegur Mawar yang menerima telepon karena berisik. Ia memintanya menelpon di luar ruangan.
Tatkala Mawar kembali, ia mendapati kamar tempat Bunga berada dalam keadaan terkunci dan lampunya padam. Kemudian lampu ruangan kembali menyala dan Briptu Nikwal Idwar keluar dari pintu kamar tersebut. Mawar yang kaget langsung masuk ruangan dan melihat Bunga menangis.
Bunga bercerita bahwa ia baru saja diperkosa Briptu Nikwal Idwar. Ia tak dapat menolak sebab diancam bui. Ketika mereka berdua hendak pergi pagi harinya, Briptu II melarang. Keduanya malah dijebloskan ke penjara.
Kelakuan bejat tersebut langsung terbongkar hari itu juga. Keduanya menceritakan apa yang terjadi ke aparat lain yang berjaga.
Kendati pelaku sudah ditahan, aktivis melihat persoalan lain: soal penyebutan "yang dihaluskan" atau eufimisme kepada aparat yang melakukan tindakan kriminal. Selama ini aparat yang bersalah atau diduga bersalah kerap disebut oknum. Padahal dengan begitu seolah-olah mengingkari akar masalah yang ada dalam institusi kepolisian.
Di balik masalah penyebutan oknum
Salah seorang yang mempermasalahkan penyebutan oknum adalah Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsari. Dia bilang kita tak bisa menerima pembenaran dengan hanya menyalahkan oknum. "Karena dengan begitu seolah-olah seperti men-deny akar masalah yang ada dalam institusi kepolisian," kata dia kepada VOI.
Iftitahsari berpendapat bahwa ada yang kurang beres dengan sistem peradilan pidana khususnya di tubuh institusi kepolisian. "Kita punya masalah yang serius dalam sistem peradilan pidana kita yang punya akuntabilitas buruk dan sistem pengawasan (dari pengadilan) yang ga jalan, khususnya di tubuh institusi kepolisian."
Untuk itu, Iftitahsari menekankan perlunya mereformasi sistem peradilan pidana khususnya di tubuh Polri. Yang harus disadari kata dia, saat ini kepolisian punya wewenang yang besar namun minim kontrol.
"Kita harus sadar bahwa saat ini kepolisian punya kewenangan yang sangat besar tapi minim kontrol, ditambah glorifikasi media melalui tontonan tv tertentu yang mengekspose betapa powerful tugas polisi yang sebenernya pelaksanaan kewenangan semacam itu juga sangat bertentangan dengan KUHAP," pungkasnya.
*Baca Informasi lain soal KEKERASAN SEKSUAL atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.