JAKARTA - Pandemi COVID-19 yang menyebar di seluruh dunia, termasuk Indonesia menyebabkan tekanan terhadap perekonomian global maupun nasional. Sisi pasokan maupun permintaan terpukul sekaligus. Mobilitas orang dan barang yang menjadi nyawa perekonomian pun berhenti.
Namun, di saat seperti ini, pemerintah Indonesia dihadapkan pada dilema. Menghadapi wabah, butuh dana. Tapi memungut pajak menjadi tak bijaksana. Akhirnya, ekonomi pandemi kemudian menjadi pilihan.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, belajar dari start yang kurang bagus di awal, pemerintah mengejar ketertinggalan dengan meluncurkan berbagai paket kebijakan. Tujuannya, untuk menjaga roda perkonomian domestik tetap berjalan.
Yustinus mengatakan, pajak yang selama ini kerap ditakuti kini menjadi penyelamat. Insentif demi insentif digelontorkan. Mulai dengan PMK No. 23/2020, pemerintah memberi insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah untuk sektor manufaktur, pembebasan PPh Pasal 22 impor bahan baku sektor manufaktur, pengurangan PPh Pasal 25, dan percepatan restitusi PPN.
Tak hanya terbatas pada sektor manufaktur, cakupan sektor yang menerima insentif tersebut juga akan diperluas seiring meluasnya dampak COVID-19 di Indonesia. Puncaknya, kata Yustinus, adalah terbitnya Perppu No. 1/2020.
Dari sisi perpajakan, selain merelaksasi administrasi perpajakan dan rencana mengenakan pajak atas perdagangan melalui sistem elektronik, pemerintah juga menurunkan tarif PPh Badan. Besarannya, dari 25 persen menjadi 22 persen di tahun ini, lalu menjadi 20 persen mulai tahun depan.
Tepatkah?
Yustinus menilai, kebijakan pemerintah yang memberi kelonggaran pajak, khususnya penurunan tarif Pajak Penghasilan Badan, dalam paket stimulus ekonomi di tengah mewabahnya COVID-19, sudah tepat.
"Hemat saya, Pemerintah sudah berada pada rel kebijakan yang tepat. Tinggal perluasan cakupan, akselerasi, dan implementasi terus dikawal," katanya, melalui keterangan tertulis yang diterima VOI, di Jakarta, Sabtu, 11 April.
Menurut Yustinus, dengan adanya kebijakan tersebut, pelaku usaha sudah semestinya bersyukur. Sebab, wacana yang rencananya melalui omnibus law baru akan berlaku 2021 dipercepat. Motif awal sebagai pemanis investasi pun berubah menjadi penyambung napas perusahaan di tengah himpitan badai COVID-19.
Kelonggaran tersebut, lanjut dia, sudah dapat dinimati sebagian besar wajib pajak badan selain kategori UKM dan yang dikenai pajak final akan menikmatinya. Tak cuma itu, konsekuensi tarif pajak turun adalah berkurangnya angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2020, setidaknya sejak April 2020. Jadi, tahun ini pun wajib pajak sudah bisa menikmati kelonggaran kas.
Namun, kata Yustinus, penurunan tarif pajak tak bisa berdiri sendiri, namun harus diikuti perubahan kebijakan lain yang kondusif bagi keberlangsungan usaha. Karena itu, pemerintah menerbitkan Perpres No. 54/2020, yang antara lain mengatur penyesuaian target perpajakan, realokasi, dan penggeseran belanja APBN agar lebih efektif dan tepat sasaran mengatasi dampak COVID-19.
Penyesuaian target pajak tersebut, kata Yustinus, dimaksudkan untuk memoderasi beban fiskus dan relaksasi pemungutan pajak, selain untuk menghitung kebutuhan pembiayaan.
"Memerhatikan gelontoran insentif di saat kritis seperti ini memang membutuhkan mata awas. Alih-alih buru-buru bilang ini tidak tepat atau terlalu berpihak pada kelompok usaha tertentu, lebih mulia jika kebijakan bagus ini didukung dan didorong agar penerapannya konsisten," katanya.
Saat kondisi pandemi COVID-19 di mana jumlah pasien positif terus bertambah, dan berlakunya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta dan akan disusul daerah lain, maka dapat dimaklumi masyarakat berharap akan ada paket insentif susulan, yang sedang dirumuskan.
Menghadapi situasi yang luar biasa ini, katanya, dibutuhkan cara pandang dan strategi yang luar biasa pula. Di sisi pemerintah, sudah menjadi keharusan jika situasi mahasulit ini mensyaratkan kecermatan. Rupiah demi rupiah yang dikumpulkan harus betul-betul terjaga demi pembiayaan aneka kebutuhan yang datang bertubi-tubi.
"Kita memang sedang diuji, tentu diuji agar naik kelas. Jika negara lain akhir-akhir ini juga menurunkan tarif pajak, cukup pasti itu bukan tindakan gegabah. Thailand dan Vietnam mematok tarif 20 persen, India menurunkan tarif dari 30 persen menjadi 25 persen, dan Malaysia juga menyesuaikan tarif menjadi 24 persen. Bahkan tak tanggung-tanggung, Tahun 2018 Amerika Serikat memangkas tarif dari 35 persen menjadi 21 persen," katanya.
BACA JUGA:
Di sisi lain, Yustinus mengakan, disaat kondisi ini tidak benar jika pelaku UKM ditinggalkan. Beban pajak pelaku UKM masih sangat terbuka direlaksasi meski tarif saat ini sudah cukup rendah yakni 0,5 persen. Namun, skema penyelamatan terpenting bagi UKM saat ini adalah membantu pembiayaan.
"Entah melalui relaksasi berupa penundaan pembayaran cicilan maupun suntikan modal kerja. Ini yang sedang digarap dengan sangat serius oleh pemerintah," ucapnya.
Yustinus menilai, semua kebijakan pemerintah dibahas secara terukur dan bertanggung jawab dengan kriteria dan syarat. Bukan untuk menghambat tapi memastikan tak ada moral hazard dan pembonceng gelap.
"Ucapan Steve A. Bank benar belaka. Jika abad ke-20 pajak adalah pedang, maka abad ini pajak adalah perisai. Ia benteng bagi keberlangsungan kehidupan, bahkan hingga anak cucu kita kelak. Kita sedang lomba marathon dan baru tiba di salah satu perhentian. Jaga stamina dan panjang sabar," tuturnya.