JAKARTA - Aktor muda, Jeff Smith ditangkap karena penggunaan tanaman ganja. Testimoni menggugah ia sampaikan. Jeff Smith berpendapat pengklasifikasian ganja sebagai narkotika golongan I keliru. Hal ini menunjukkan pemenjaraan tak serta merta mengikis fakta dan mematikan nalar soal manfaat ganja dan isu kriminalisasi tanaman ini.
Testimoni disampaikan Jeff Smith, ketika --seperti biasa-- diminta polisi menyampaikan maaf kepada masyarakat. Senin, 19 April, di Mapolres Jakarta Barat, dengan seorang anggota polisi menodongkan mikrofon kepadanya, Jeff Smith menutur kata-kata:
Saya ingin meminta maaf kepada keluarga besar saya dan orang-orang yang saya sayangi. Dan juga saya ingin meminta maaf kepada sleuruh warga Indonesia karena saya sudah menjadi contoh yang tidak baik dan saya sudah melakukan hal yang tidak patut dicontoh.
Usai menyampaikan pengarahan polisi, Jeff Smith menyatakan pendapat pribadinya. Ia mengkritisi penggolongan tanaman ganja sebagai narkotika golongan I. Jeff Smith juga mendorong agar pemerintah segera melakukan penelitian ganja.
"Selanjutnya, menurut saya, ganja tidak layak untuk dikategorikan sebagai narkotika golongan satu. Secepatnya Indonesia harus melakukan penelitian," kata Jeff Smith.
[TULISAN SERI: Jangan Panik Ini Organik]
Apa yang bisa kita lihat dari testimoni Jeff Smith?
Pertama, soal 'gelar maaf' yang belakangan jadi kebiasaan kepolisian. Kebiasaan ini sepatutnya dihentikan. Yayasan Sativa Nusantara (YSN) salah satu yang menyoroti ini.
Selain tak diwajibkan secara hukum, memosisikan para pengguna narkotika, termasuk ganja sebagai pesakitan justru bertentangan dengan perspektif Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang melihat pengguna sebagai korban.
"Penegakan hukum kerap menampilkan selebritis yang memakai narkotika, termasuk ganja, sebagai pesakitan yang harus minta maaf ke hadapan publik. Hal ini terlihat di banyak kasus: Nunung, Tora Sudiro, Lucinta Luna, Dwi Sasono, dan lain-lain. Hal ini tidak diwajibkan oleh hukum dan tidak boleh dipaksakan. Kami menilai kebiasaan ini patut untuk dihentikan," Direktur Hukum dan Kebijakan YSN Yohan Misero, dikutip VOI, Rabu, 20 April.
Selain soal permintaan maaf, testimoni Jeff Smith juga mengangkat masalah penting soal penggolongan narkotika. Regulasi ini dipandang masih jauh dari sempurna. Peninjauan ulang diperlukan untuk mengklasifikasi narkotika golongan I, II, dan III.
Penggolongan ganja sebagai narkotika golongan I bukan hanya kriminalisasi tapi juga pengabaian terhadap pengetahuan. Penggolongan ini secara otomatis menutup pintu penelitian dan upaya-upaya pemanfaatan ganja secara strategis dan ideal.
"Penempatan ganja, dengan berbagai spesies dan zat turunannya di narkotika golongan I sebagai sesuatu yang amat bermasalah. Ganja dengan segala potensinya tidak dapat dimanfaatkan untuk medis dan juga industri lainnya. Di situasi ekonomi saat ini, pemanfaatan ganja sebagai sebuah aset dengan skema legal, menurut kami, sangat layak untuk dipertimbangkan," kata Yohan Misero.
Dan yang terpenting dari testimoni Jeff Smith adalah kita melihat bahwa pemenjaraan tak mematikan nalar Jeff Smith soal ganja. Fakta logis nan ilmiah bahwa tanaman lima jari memiliki banyak manfaat tak mampu ditutupi oleh upaya-upaya kriminalisasi terhadapnya.
"Pejuang itu doi (Jeff Smith)," Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara kepada VOI, Rabu, 20 April.
[TULISAN SERI: Jangan Panik Ini Organik]
Pemanfaatan ganja dan perubahan regulasi dunia
Pemanfaatan ganja makin luas dilakukan. Desember 2020 lalu, Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan telah secara bulat menghapus ganja dari daftar obat paling berbahaya di dunia.
Hal ini jadi kabar baik bagi segala upaya pemanfaatan ganja di dunia. Pengakuan PBB ini jadi awal penting melegitimasi manfaat ganja, terutama bagi kesehatan.
Komisi Narkotika PBB menyetujui rekomendasi World Health Organization (WHO) untuk menghapus ganja dan resin ganja dari Agenda IV di bawah Konvensi Tunggal 1961 tentang Narkotika. Penunjukan ganja di bawah Agenda IV menempatkan ganja dan salah satu turunannya dalam kategori yang sama dengan heroin dan opioid lainnya.
Zat yang diklasifikasikan sebagai Agenda IV adalah bagian dari daftar obat pada Agenda I. Oleh pengklasifikasian itu, ganja dianggap tidak hanya "sangat adiktif dan sangat bertanggung jawab atas kejahatan," tetapi juga diberi label "sangat berbahaya dan nilai medis atau terapeutiknya sangat terbatas."
"Ini adalah kabar baik bagi jutaan orang yang menggunakan ganja untuk tujuan terapeutik dan mencerminkan realitas pasar yang berkembang untuk produk obat berbasis ganja," kata sekelompok organisasi advokasi kebijakan obat dalam rilis berita.
[TULISAN SERI: Jangan Panik Ini Organik]
Pemungutan suara yang diselenggarakan pada Rabu, 2 Desember memutuskan bahwa ganja dan resin ganja tidak lagi diklasifikasikan sebagai zat paling berbahaya dan diakui memiliki manfaat medis. Tapi mereka tetap tunduk pada batasan di bawah kategori Agenda I.
"Kami menyambut baik pengakuan lama yang tertunda bahwa ganja adalah obat," kata Ann Fordham, direktur eksekutif Konsorsium Kebijakan Narkoba Internasional, dalam sebuah pernyataan. "Namun, reformasi ini masih jauh dari memadai mengingat ganja tetap salah di tingkat internasional."
Di Indonesia, keputusan PBB langsung direspons oleh sejumlah organisasi. Lewat koalisi masyarakat sipil mereka mengajukan judicial review terhadap Pasal 6 dan Pasal 8 UU 35/2009. Dalam tuntutannya, koalisi mendorong Indonesia merespons keputusan PBB.
"Perubahan regulasi internasional tentang pemanfaatan ganja untuk medis tahun lalu di PBB, serta kewenangan inheren Kementerian Kesehatan berdasarkan Pasal 6 ayat 3 UU Narkotika untuk mengubah golongan, kami berharap pemerintah dan parlemen dapat menyambut peluang perubahan ini dengan lebih cepat dan terbuka," Direktur Hukum dan Kebijakan Yayasan Sativa Nusantara (YSN) Yohan Misero.
*Baca Informasi lain soal LEGALISASI GANJA atau baca tulisan menarik lain dari Rizky Adytia Pramana juga Yudhistira Mahabharata.
BERNAS Lainnya
BACA JUGA: