Bagikan:

JAKARTA - Sulitnya memproduksi alat ventilator sebagai salah satu alat medis paling dibutuhkan dalam menangani COVID-19 tentu menjadi masalah. Pasalnya alat ini berfungsi vital sebagai alat bantu pernapasan. Ventilator menjadi "senjata" andalan dalam memerangi virus corona baru. Lantas seberapa sulit membuat alat ini?

Seiring terus bertambah orang yang terinfeksi virus corona baru tiap harinya, rumah sakit semakin kewalahan. Mereka kekurangan alat ventilator. Memang, tidak semua pasein COVID-19 memerlukan ventilator. Namun, setidaknya, menurut laporan dari Imperial College London, sekitar 30 persen dari pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit kemungkinan membutuhkan ventilator mekanik.

Satu-satunya cara untuk mengurangi pasien yang masuk perawatan intensif, sebut laporan itu, adalah dengan menerapkan lockdown. Lewat lockdown, diharapkan sekitar 75 persen kontak sosial bisa dihindari. 

Sayangnya, beberapa negara lamban mengambil tindakan yang bisa mengurangi kontak sosial tersebut. Akibatnya, kekuarangan ventilator tak dapat dihindari, bahkan di negara maju sekalipun.

Seperti yang diungkap Gubernur New York Andrew Cuomo, yang menyebut mereka kekurangan 30 ribu unit ventilator. Jika melihat fungsi inti dari ventilator, mesin ini sebenarnya tidak begitu rumit.

Pada dasarnya, alat ini adalah pompa canggih. Ventilator mengontrol oksigen dan aliran udara dari paru-paru pasien saat paru-paru pasien tak dapat melakukan fungsi sebagaimana mestinya. 

Sulitnya membuat ventilator

Seorang insinyur dari Kolombia yang tergabung dalam sebuah grup pembuat ventilator di Medellin, Mauricio Toro, menjelaskan, memang jika melihat fungsinya tidak terlalu rumit. Tapi, sejatinya pembuatan ventilator harus reliabel (dapat diandalkan) karena tingkat pertaruhannya cukup tinggi.

"Jika gagal, pasien sangat mungkin meninggal," kata Toro dikutip BBC. "Inilah yang membuat ventilator sangat menantang untuk dibuat."

Apalagi, dalam kondisi sekarang. Dalam unit perawatan intensif yang terlalu padat, di mana dokter harus merawat lebih banyak pasien, reliabilitasnya tak dapat teruji dengan baik.

Satu-satunya cara untuk membuat alat ini punya reliabilitas tinggi adalah dengan pengujian ekstensif. Pengujian itu membutuhkan waktu sampai dua tahun. Dan ini adalah periode paling panjang dalam proses pembuatan ventilator. 

Perangkat medis (truthout.org)

Padahal ventilator sangat dibutuhkan saat ini, bukan nanti. Apalagi, para ilmuwan telah menghitung bahwa pembuatan vaksin COVID-19 bisa memakan waktu hingga 18 bulan. 

Selain waktu yang lama, tantangan lain untuk membuat ventilator adalah materialnya itu sendiri. Pasalnya, material yang digunakan harus tahan sobek. Bahan yang digunakan juga bukan bahan yang bisa menyebabkan infeksi. Selain itu, ventilator juga perlu dibuat dengan bahan yang bisa tahan terhadap zat kimia atau sinar UV. 

Tantangan lain yang membuat mengapa ventilator begitu sulit dibuat adalah sumber daya manusianya itu sendiri. Membuat ventilator cukup kompleks dalam pembagian kerjanya. Sementara, kemampuan orang berbeda-beda. Karenanya, mengarahkan mereka dalam pembagian kerja yang tepat itu juga menjadi tantangan. 

Dunia berlomba

Pemerintah dan otoritas kesehatan menyadari adanya tantangan ini. Inggris, misalnya, di mana pemerintah sedang menggenjot penambahan 1.200 ventilator dalam waktu kurang dari dua minggu. 

Sementara itu, mereka memperkirakan masih akan membutuhkan 30 ribu pada puncak wabah. Oleh karena itu, pemerintah telah meminta industri dan universitas-universitas nonkesehatan untuk membantu dengan sekuat tenaga, seakan ini adalah perang. 

Salah satu perusahaan peralatan medis terbesar di dunia, Philips, mengatakan bahwa mereka telah menambah sumber daya kapasitas produksi. Selain itu, Philips juga meningkatkan jumlah jam kerja karyawan dan merekrut karyawan manufaktur tambahan untuk mendukung peningkatan permintaan segera.

Langkah itu banyak diikuti oleh perusahaan besar lainnya. Seperti perusahaan Dyson yang telah menerima pesanan 10 ribu ventilator. Ketika dunia sedang berlomba membuat ventilator, tak sedikit mereka yang mencari alternatif lain. Misalnya, perusahaan kesehatan Smith Medical yang merawat pasien tidak terlalu kritis dengan perangkat bernama CPAP (Continuous Positive Air Pressure). 

Sementara itu, para insinyur dan peneliti juga ada yang sudah membuat solusi kreatif lain. Misalnya, Ventil, sebuah mesin baru yang ketika dipasang pada ventilator bisa memungkinkan untuk membuat dua saluran udara untuk digunakan dua pasien secara bersamaan.