Bagikan:

JAKARTA - Memasuki pekan ketiga sejak kebijakan social distancing --kini diganti physical distancing-- disuarakan pemerintah pusat, angka pasien positif COVID-19 terus meningkat signifikan. Sikap pemerintah belum berubah, opsi lockdown belum terdengar dari salinan pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di daerah, otoritas pemerintahan bergerak mandiri menutup wilayah mereka. Akademisi pun bersuara meminta opsi lockdown diambil secara selektif.

Mulai Senin, 30 Maret, Pemerintah Kota (Pemkot) Tegal akan memblokade 49 titik akses jalan protokol dalam kota dan penghubung jalan antarkampung. Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriono mengatakan, langkah ini dilakukan sebagai upaya melindungi Kota Tegal dari penularan virus di luar daerah. Pemkot Tegal menyebut langkah ini sebagai "local lockdown", istilah yang banyak dipersoalkan kemudian.

Kebijakan yang diambil Yon jelas tak mudah. Tegal, bagaimana pun bersinggungan dengan Jalur Pantura, urat nadi sosial dan ekonomi di Pulau Jawa. Karenanya, Yon berhati-hati menetapkan kebijakan ini. Penutupan jalan, kata Yon tak meliputi akses jalan provinsi dan jalan nasional. Meski begitu, Yon meyakini langkah ini krusial.

Dengan mengarantina wilayah lokal, Pemkot Tegal tinggal menangani satu kasus positif --saat berita ditulis, Tegal catat satu kasus positif-- sekaligus menelusuri potensi penularan dari kasus tersebut. Pemkot Tegal juga tinggal menjaga jalur-jalur besar nasional dan provinsi. Di jalur itu, Pemkot Tegal akan menerapkan wajib lapor. Nantinya, siapa pun yang hendak masuk kota harus mengantongi izin dari Gugus Tugas Pengendalian COVID-19 Kota Tegal.

"Hanya orang Kota Tegal enggak bisa keluar dari luar enggak bisa masuk Kota Tegal," kata Yon, dikutip dari CNN Indonesia, Minggu, 29 Maret. 

Daerah lain menerapkan hal serupa. Tasikmalaya menyusul langkah Tegal. Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman memutuskan me-lockdown wilayahnya ketika lima kasus positif muncul di daerahnya. Kebijakan itu akan diberlakukan pada Selasa, 31 Maret. Pemkot Tasikmalaya akan menempatkan pos-pos penjagaan di setiap akses masuk ke dalam kota. Pos-pos itu nantinya dijaga oleh TNI, Polri, dan aparatur pemerintah daerah lain.

Angkutan umum dan sarana transportasi lain akan dilarang memasuki wilayah Kota Tasikmalaya tanpa alasan mendesak. "Setelah terdapat lima orang positif corona di Kota Tasikmalaya, kami bersama tim gugus tugas akan memberlakukan karantina wilayah atau lockdown lokal yang akan dimulai pada hari Selasa tanggal 31 Maret 2020 besok," jelas Budi, dilansir Kompas.com.

Sebelum Tegal dan Tasikmalaya, Papua telah lebih dulu menutup Bandara Sentani. Pintu masuk utama Papua itu ditutup sejak Kamis, 26 Maret hingga 9 April mendatang. Kebijakan itu diambil berdasar keputusan bersama antara Forkompinda Provinsi Papua dengan bupati dan wali kota di seluruh provinsi.

"Bandara tidak beroperasi sampai 9 April, kecuali angkutan barang yang mengangkut logistik, pengangkutan pasien dalam keadaan emergency, sampel swab, itu mendapat kekhususan," ujar Kapolres Jayapura AKBP Victor Makbon, dikutip Kompas.com.

Istilah

Istilah local lockdown yang dikemukakan Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono sempat diprotes. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memintanya mengganti istilah itu dengan "isolasi wilayah". Menurut Ganjar, langkah apa pun yang menggunakan istilah berembel-embel lockdown hanya boleh dikeluarkan pemerintah pusat.

"Perihal masalah istilah local lockdown atas arahan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dalam hal ini Gubernur Ganjar Pranowo, bahwa nama local lockdown harus diganti dengan nama isolasi wilayah atau isolasi terbatas yang maksudnya untuk menjaga warga masyarakat Kota Tegal tentunya agar aman dari bahaya Corona Virus Diase (COVID-19)," kata Yon, ditulis Detik, Sabtu, 29 Maret.

Istilah yang digunakan Yon memang sempat mengundang masalah. Banyak pihak yang mempertanyakan hal tersebut, termasuk Ganjar selaku pemimpin Provinsi Jawa Tengah. Memang, dalam ranah tata negara, pengistilahan dapat berimplikasi pada perundang-undangan. Ada konsekuensi hukum yang harus dilakukan suatu pemerintahan ketika sebuah istilah digunakan.

Praktisi hukum, Masykur Isnan yang dihubungi VOI, 29 Maret mengungkap, berdasar Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, situasi pengarantinaan akan memaksa pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan melalui penyelenggaraan kekarantinaan masyarakat.

Namun, di balik segala implikasi hukum, sejatinya, banyak orang yang barangkali luput, bahwa ada pesan penting yang dapat diambil dari kebijakan Tegal, Tasikmalaya atau pun Papua, bahwa membatasi ruang gerak manusia amat penting dalam kondisi seperti ini. Dan imbauan, barangkali memang tak cukup.

Hak rakyat dan kewajiban negara

Hal ini juga yang jadi keresahan sekaligus pertanyaan banyak pihak. Sebagian mendorong lockdown, lainnya berhitung, mungkinkah pemerintah bisa menanggung kondisi selama lockdown berlangsung?

Pasal 8 UU 6/2018 mengamanatkan: Rakyat berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina.

Dalam penjelasan pasal tersebut, dipaparkan bahwa yang dimaksud dengan "kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya" melingkupi kebutuhan pakaian dan perlengkapan mandi, cuci, dan buang air.

Dewan Guru Besar Universitas Indonesia mendorong pemerintah melakukan lockdown selektif. Artinya, lockdown yang dilakukan di wilayah-wilayah terdampak paling parah. Dewan bahkan membuat simulasi perhitungan jika lockdown dilakukan selama 14 hari. Simulasi ini menggunakan Jakarta yang berpenduduk 9,6 juta jiwa sebagai model.

Model perhitungan Dewan Guru Besar UI (Sumber: Istimewa)

Dengan model perhitungan di atas, artinya opsi lockdown sangat mungkin diambil oleh pemerintah. Pembiayaan dapat diambil dari total penerimaan pajak Indonesia --yang dalam model dihimpun per November 2019 berjumlah Rp1.312,4 triliun. Sumber pendanaan dari pajak sangat masuk akal, sebab pajak yang dibayarkan warga selama ini sejatinya memang hak setiap warga yang harus dikembalikan demi kepentingan warga.

Praktisi hukum, Masykur Isnan mengatakan, berdasar UU 6/2018, negara harus hadir di tengah karantina wilayah dalam berbagai perspektif, dari ekonomi, hukum, dan sosial. “... perihal ekonomi, negara harus menjamin ketersediaan infrastruktur pemenuhan hak-hak dasar; kebutuhan pokok, pendidikan dan lain-lain, termasuk pada ketersedian logistik dan saran penunjang supaya tepat sasaran.”

Sisanya, terkait keberlanjutan pekerjaan dan jaminan sosial. Hal itu dikarenakan dengan adanya lockdown, mereka yang paling terimbas ialah para pekerja, baik yang formal atau pun yang informal. Selebihnya, yang diharus diperhatikan, tak lain adalah stimulus bagi para pelaku usaha, baik skala kecil mau pun besar yang terimbas.

“Perihal hukum, di sini pemerintah dituntut untuk membuat dasar hukum yang jelas, baik formil mau pun materiil yang mengatur tentang karantina wilayah baik di tingkat daerah mau pun pusat. Dan, jangan lupa, pun soal menjamin sarana dan prasarana, aparat penegak hukum supaya optimal dalam pelaksanaan karantina wilayah,” ucap Isnan.

Terakhir dan menjadi penting ialah terkait persfektif sosial, di mana langkah yang diambil perlu dipertimbangkan dan dirumuskan dalam upaya-upaya internalisasi terkait tujuan dan fungsi dari implementasi karantina wilayah dengan harapan dapat mencapai tujuan.

“Optimalisasi peran dan sinergi segala elemen masyarakat dan pranata sosial, mulai dari keluarga sampai pemerintah daerah sehingga dapat membentuk suatu komunikasi yang efektif dan efesien guna menjawab kebutuhan komunikasi masyarakat,” tambahnya.

Bagaimana pun, keputusan ada di tangan Jokowi sebagai pemimpin negara. Yang jelas, kita tidak dalam kondisi lapang. Pilihan barangkali banyak hari ini. Esok, belum tentu. Sebelum pilihan lockdown selektif hilang dan lockdown nasional jadi satu-satunya pilihan, barangkali perhitungan yang dilakukan Dewan Guru Besar UI perlu diambil. Tenang saja, rakyat punya uang yang dititipkan pada negara dalam bentuk pajak.