Dalam Waktu Dekat Indonesia Produksi Ventilator untuk Pasien COVID-19
Prototipe ventilator buatan PT Pindad dan PT DI sedang ditinjau oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (Foto: humas.jabarprov.go.id)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah RI akhirnya bakal memproduksi alat medis ventilator untuk penanganan pasien virus corona atau COVID-19. Ventilator berfungsi sebagai alat bantu pernapasan pasien yang terserang virus corona dengan kondisi sedang hingga berat.

Saat ini, sudah ada dua BUMN yang mampu membuat ventilator dan telah lulus uji produk dari Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Kementerian Kesehatan RI. Mereka adalah PT Pindad dan PT Dirgantara Indonesia.

PT Pindad yang biasanya memproduksi senjata akan bekerja sama dengan UI dan UGM bisa memproduksi 200 ventilator per bulan. Sementara, PT DI yang biasanya memproduksi pesawat terbang akan bekerja sama dengan ITB untuk memproduksi 500 ventilator per minggu. 

Wakil Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Wamenhan RI) Sakti Wahyu Trenggono menganggap ventilator yang akan diprduksi sangat vital dibutuhkan dalam penanganan pasien COVID-19. Namun, selama ini suplainya sangat terbatas karena harga satu alat ventilator impor mencapai ratusan juta rupiah, sementara kasus COVID-19 makin bertambah. 

Oleh karenanya, ketika kedua perusahaan BUMN ini mampu mengeluarkan biaya sekitar Rp15 juta rupiah untuk memproduksi sebuah ventilator, semua rumah sakit yang merawat pasien COVID-19 tidak akan kekurangan alat bantu pernapasan dan repot-repot impor dari luar negeri.

"Pindad dan Dirgantara sudah mampu produksi ventilator. Kementerian Pertahanan akan pastikan membeli produk buatan BUMN ini agar kita tak telat bergerak dan menjadi pemenang dalam melawan COVID-19," kata Trenggono pada Minggu, 26 April.

Trenggono menjelaskan, pembuatan ventilator memanfaatkan mesin produksi dari perusahaan sektor industri pertahanan. Nantinya, proses pembuatan ventilator dicontoh dari cara Amerika Serikat yang meminta pabrik mobil Ford, GM, dan pabrik turbin GE memproduksi ventilator.

Bahkan, Israel Aerospace Industries (IAI) yang dikenal sebagai manufaktur dirgantara dan persenjataan, diperintahkan Kementerian Pertahanan Israel ikut berperan serta melawan pendemi corona, di mana divisi produksi rudal di IAI dikonversi untuk memproduksi ventilator portable.

Dirut Pindad Abraham Mose menyebut, sumber daya perusahaannya mampu mengaambil peran dengan memproduksi peralatan kesehatan yang sangat diperlukan seperti ventilator, tabung oksigen, Masker ruang operasi, bilik disinfektan dan lainnya.

"Pindad sudah membuat Ventilator Pumping Machine, dimana berfungsi sebagai alat bantu pernapasan untuk pasien-pasien yang mengalami gagal napas," kata dia.

Ventilator buatan PT Pindad (Foto: kemhan.go.id)

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, pemerintah kekurangan ventilator. Sebab, alat ini sedang diperebutkan oleh seluruh negara di dunia yang memiliki kasus COVID-19 dalam jumlah besar.

"Bukan hanya APD, tapi ventilator juga yang jadi rebutan. Di dunia kita sekarang ini sedang mengusahakannya karena itu juga tidak cukup. Banyak di luar negeri yang juga tidak kebagian ventilator," kata Mahfud, Jumat, 27 Maret.

Kata Mahfud, angka kematian di Indonesia akibat COVID-19 begitu tinggi karena banyak pasien COVID-19 dengan gejala berat tidak mendapatkan ventilator. Oleh karenanya, sebisa mungkin pemerintah mesti mengadakan alat tersebut untuk didistribusikan ke rumah sakit penanganan COVID-19.

Seorang insinyur dari Kolombia yang tergabung dalam sebuah grup pembuat ventilator di Medellin, Mauricio Toro menjelaskan, memang jika melihat fungsinya tidak terlalu rumit. Tapi, sejatinya pembuatan ventilator harus reliabel (dapat diandalkan) karena tingkat pertaruhannya cukup tinggi.

"Jika gagal, pasien sangat mungkin meninggal," kata Toro dikutip BBC. "Inilah yang membuat ventilator sangat menantang untuk dibuat." katanya sambil menambahkan apalagi, dalam kondisi sekarang, dalam unit perawatan intensif yang terlalu padat, di mana dokter harus merawat lebih banyak pasien, reliabilitasnya tak dapat teruji dengan baik