JAKARTA - Kebutuhan ventilator atau alat bantu pernapasan terus meningkat seiring dengan penambahan pasien yang positif terinfeksi corona atau COVID-19. Pemerintah juga terus melakukan pengembangan terhadap alat kesehatan tersebut, mengingat saat ini alat itu sangat dibutuhkan dalam penanganan virus ini.
Saat ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membutuhkan 1.000 ventilator berbasis Continuous Positive Airway Pressure (CPAP). Ventilator CPAP biasanya digunakan untuk pasien dengan gangguan sleep apnea atau kondisi di mana pernapasan berhenti saat tidur.
Menteri Riset dan Teknologi, Bambang Brodjonegoro menargetkan, produksi massal ventilator buatan dalam negeri bisa dilakukan mulai minggu depan. Saat ini dari 28 usulan pembuatan ventilator, empat di antaranya sudah menyelesaikan pengajuan di Balai Pengaman Fasilitas Kesehatan (BPFK) Kementerian Kesehatan.
Empat prototipe yang sudah selesai uji alat antara lain berasal dari Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran-Salman, Dharma Group, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
"Kami harap uji klinis bisa selesai minggu ini sehingga minggu depan sudah mulai produksi," katanya, dalam rapat gabungan virtual bersama Komisi VI, VII, dan IX DPR RI, Selasa, 5 Mei.
Bambang mengatakan, kapastitas produksi ventilator dalam negeri cukup tinggi. Salah satunya, yang bekerja sama dengan BPPT bisa memproduksi hingga 100 unit ventilator per minggu per pabrik.
"Dan harapan ini bisa mengejar kebutuhan dari tenaga kesehatan dan informasi terakhir dari Kemenkes dibutuhkan 1.000 unit dari CPAP dan 700 unit yang ambubag," tuturnya.
Perbedaan Ventilator Ambubag dan CPAP
Bambang menjelaskan, ada perbedaan antara ventilator CPAP dan ambubag. Ventilator ambubag banyak digunakan untuk keperluan sepeperti di instalasi gawat darurat (IGD) dan
Intensive Care Unit (ICU). Sedangkan, ventilator CPAP, meski bisa digunakan dalam kondisi darurat, namun lebih umum digunakan untuk kondisi non-darurat.
"Kalau CPAP bisa dipakai emergency tapi lebih banyak portable di ruang non-emergency," jelasnya.
Gandeng Perusahaan Swasta dan BUMN
Wamen BUMN Budi Gunadi Sadikin mengatakan, ventilator ambubag yang dimiliki baru 100 pcs dari 500 bed ICU bed. Namun, saat ini sedang dalam proses menambah 400 ventilator, sehingga seluruh ICU bed rumah sakit (RS) BUMN.
"Diharapkan bisa segera memiliki masing-masing ventilator karena alat ini yang sangat menentukan mati hidupnya pasien ketika mereka masuk ICU," tuturnya.
BUMN memiliki sekitar 70 RS, 35 RS di antaranya didedikasikan untuk COVID-19 dengan jumlah kamar dari total RS sebanyak 7.000 kamar, sementara 2.500 kamar difungsikan untuk perawatan pasien COVID-19.
BACA JUGA:
Budi mengatakan, beberapa perusahaan BUMN sudah menjadi sponsor untuk pembangunan non invasive ventilator yang bekerjasama dengan Kemensristek dan juga beberapa perguruan tinggi seperti UI, ITB, UGM dan Unair untuk bisa memproduksi non invasive ventilator dalam negeri.
"Kami juga sudah mencocokkan, memitrakan antara perguruan tinggi yang bisa membuat desain ventilator dengan produsen BUMN seperti PT LEN, PT Dharma dan PT Pindad," tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan, saat ini sudah ada tiga tipe emergency ventilator yang diproses produksi oleh PT LEN, PT Poly Jaya, dan PT Dharma Group untuk di instalasi gawat darurat (IGD) maupun ambulans.
"Kami seperti dijelaskan saat ini dalam tahap uji untuk ventilator yang nantinya akan diproduksi. Saat ini kita berharap pada minggu ini kita dapat menyerahkan kepada rumah sakit melalui Dirjen Farmakes untuk melaksanakan uji klinis seperti disampaikan Menristek bahwa uji klinis dan izin edar ini merupakan tahapan-tahapan yang harus kita lewati," katanya.