Kimia Farma Kembangkan Obat Alternatif Penanganan COVID-19
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) farmasi, PT Kimia Farma Tbk (KAEF) terus berupaya mengembangkan obat-obatan yang dibutuhkan selama penanganan virus corona atau COVID-19. Obat-obatan yang dibutuhkan sebagai alternatif bagi pasien positif COVID-19, antara lain Remdesivir, Favipiravir, Chloroquin, dan Hydroxy Chloroquin.

Direktur Utama Kimia Farma Verdi Budidarmo mengatakan, pihaknya tetap menambah produksi obat tersebut, meski belum ada rekomendasi khusus bahwa obat itu dapat menyembuhkan.

"Ini juga masuk kajian kami sebagai pengembangan bahan baku obat. Ini beberapa hal yang kami lakukan untuk bahan baku obat COVID-19," katanya, saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR secara virtual, di Jakarta, Selasa, 21 April.

Verdi juga menjelaskan, pengembangan bahan baku obat alternatif COVID-19 ini bergantung pada ketersediaan produsen finish product di Indonesia. Sedangkan, untuk Chloroquin dan Hydroxy Chloroquin dipastikan sudah diproduksi oleh Kimia Farma.

Kimia Farma mencatat telah memproduksi 13 juta tablet Chloroquin. Obat jenis ini telah didistribusikan ke lebih dari 600 rumah sakit pemerintah pusat, rumah sakit pemerintah daerah, rumah sakit swasta dan instansi kesehatan.

Sementara untuk Hydroxy Chloroquin sudah diproduksi 1 juta, dan akan didistribusikan juga untuk rumah sakit milik pemerintah pusat dan daerah, serta rumah sakit swasta.

Namun, produksi obat alternatif bagi pasien positif COVID-19 ini dengan catatan kedua obat tersebut memiliki economical advantage yang rendah jika dilihat melalui perspektif pengembangan bahan baku obat.

Selain itu, Kimia Farma juga memproduksi obat Azithromycin sebagai penunjang kuratif COVID-19. Produksi 5 juta tablet obat jenis ini sesuai dengan protokol yang dikeluarkan Persatuan Dokter Paru Indonesia.

Verdi mengatakan, pihaknya juga memproduksi dan mendistribusikan vitamin A, vitamin C dan Vitamin E. Lebih dari 80 juta vitamin ini bisa digunakan masyarakat sebagai upaya pencegahan terjangkit COVID-19. "Distribusinya ke apotek, rumah sakit pemerintah pusat maupun daerah dan rumah sakit swasta," tuturnya.

Selain vitamin, lanjut Verdi, Kimia Farma juga memproduksi obat herbal terkait COVID-19. Obat herbal itu bernama Fituno yang mengandung ekstrak echinacea. Menurut dia, Fituno sangat tepat digunakan untuk menjaga daya tahan tubuh di tengah pandemi virus ini, mengingat daya tahan tubuh yang kuat dapat menghalau berbagai virus.

Di sisi lain, Verdi mengungkap, banyak tantangan yang dihadapi dalam pengembangan bahan baku obat. Mulai dari hilir hingga hulu, seperti market domestik dan kewajiban menggunakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), pajak, hingga bahan baku dari industri kimia dasar yang belum optimal.

"Dukungan yang diperlukan dalam pengembangan bahan baku obat ada beberapa tantangan. Hilirisasi kami memerlukan kepastian pasar di dalam negeri, perlindungan pasar domestik, fasilitasi pasar global. Di hulu seperti area khusus industri, operasional insentif tax," jelasnya.

Verdi mengatakan, Kimia Farma juga sedang melakukan impor rapid test Biozex dari Belanda sebanyak 10 ribu boks. Sebanyak 6.500 rapid test sudah didistribusikan ke fasilitas layanan kesehatan, laboratorium pemeriksa COVID-19, serta dinas kesehatan. Rapid test tidak disalurkan melalui ritel maupun perorangan.

"Rapid test Biozex tidak didistribusikan melalui ritel dan perorangan serta online dan sesuai pada regulasi cara distribusi obat yang baik dan benar," jelasnya.

Serap Masker Nonmedis UMKM

Kondisi pandemi COVID-19 yang kian meluas penyebarannya di Indonesia, masker menjadi alat pelindung diri (APD) yang wajib digunakan guna menghindari penularan virus COVID-19. Namun, di tengah pandemi ini masker menjadi barang langka dan harganya pun melambung tinggi.

Menyadari kondisi ini, Kimia Farma menggandeng Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) untuk memasok masker nonmedis. Kerjasama kedua pihak tersebut telah berjalan sejak dua pekan lalu.

Vendi mengatakan, pihaknya siap menyerap produksi masker nonmedis dari pelaku UMKM yang berada di bawah naungan Kemenkop UKM. Ia menjelaskan, kerja sama ini guna memenuhi tingginya permintaan masyarakat terhadap masker di masa pandemi.

Apalagi, kata Vendi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah mewajibkan semua masyarakat untuk menggunakan masker apabila beraktivitas di luar rumah.

"Kimia Farma siap jadi offtaker, namun maskernya harus sesuai sejumlah syarat yang ditetapkan. Harapannya, awal Mei sudah bisa menambah suplai Masker nonmedis di jaringan apotek Kimia Farma," katanya.

Di sisi lain, Verdi mengatakan, kerja sama tesebut didasari keadaan bahwa Kimia Farma belum dapat melakukan produksi masker, baik masker medis maupun masker nonmedis. Sehingga selama ini, Kimia Farma menyerap hasil produksi salah satu alat kesehatan itu dari para produsen yang ada di dalam negeri.

"Sejak pandemi orona pada Februari sampai 18 April, Kimia Farma telah distribusi 16 juta pcs masker medis dan 1 juta masker nonmedis," katanya.