JAKARTA - Di tengah pandemi virus corona atau COVID-19 yang penyebarannya kian meluas, alat kesehatan (alkes) dan obat-obatan menjadi barang yang sangat diperlukan. Namun, dalam kondisi darurat ini, isu mafia alkes dan obat-obat justru muncul. Karena itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengaku akan mengawasi sektor industri ini.
Isi mafia alkes dan obat-obatan ini diungkap pertama kali oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Belum lama ini, dirinya beranggapan adanya dugaan mafia sektor farmasi dan alat kesehatan. Sebab, selama ini Indonesia masih cenderung memilih mengimpor bahan baku alat kesehatan dan obat-obatan, ketimbang memproduksi sendiri di dalam negeri.
Padahal, memurut Erick, sebagai negara yang besar Indonesia memiliki kapasitas untuk bisa memproduksi sendiri bahan baku obat maupun alat kesehatan.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Saragih mengatakan, sektor industri farmasi dan alat kesehatan menjadi salah satu sektor prioritas yang diawasi KPPU saat ini. Ia menegaskan, pihaknya akan memproses adanya indikasi pelanggaran sektor persaingan usaha, jika dalam penyelidikan ditemukan potensi tersebut.
"Dalam waktu dekat kami akan meminta keterangan dari Kementerian BUMN terkait informasi tersebut," ujar Guntur dalam konferensi pers yang dilalukan secara virtual, di Jakarta, Kamis, 23 April.
Menurut Guntur, setelah adanya pemeriksaan, baru bisa ditentukan apakah nantinya masuk dalam domain penegakan hukum KPPU jika ada indikasi dugaan pelanggaran UU nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Bentuk Pabrik Sendiri
Sebelumnya, Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir angkat bicara menganai isu tersebut. Menurut dia, permasalahan mafia alkes dan obat hadir selama pandemi COVID-19 dikarenakan permintaan yang lebih tinggi daripada pasokannya.
"Ada kelangkaan supply. Apalagi juga proses ekspor impor tidak berjalan mulus, karena masing-masing negara melakukan pembatasan," tuturnya, saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI secara virtual, di Jakarta, Selasa, 21 April.
Sementara itu, kata Honesti, tingginya kebutuhan impor bahan baku disebabkan karena tak tersedianya bahan baku dasar obat-obatan di Indonesia. Menurut dia, umumnya bahan baku dasar ini diproduksi oleh perusahaan kimia dasar. Tetapi, masalahnya bahan baku ini tak diproduksi di Indonesia.
BACA JUGA:
"Bahan baku memang diakui lebih dari 90 persen impor, masalah bahan baku tidak murni hanya farmasi karena permasalahannya di hulu, ini dasar yang berkepentingan. Yang kami bikin adalah active ingredient, bahan bakunya kimia dasar. Kalau di luar sudah established, beda dengan Indonesia," jelasnya.
Honesti mengatakan, untuk mengatasi masalah mafia alkes dan obat-obatan di Indonesia, perusahaan yang masuk dalam holding BUMN farmasi menegaskan akan memulai menekan impor bahan baku obat-obatan pada 2021 mendatang. Langkah yang diambil perusahaan BUMN adalah dengan memproduksi sendiri bahan baku obat-obatan yang diperlukan.
Perusahaan farmasi pelat merah, kata Honesti, melakukan inisiatif untuk membangun pabrik bahan baku sendiri melalui PT Kimia Farma Tbk (KAEF). Kimia Farma dan PT Indofarma Tbk (INAF) masuk dalam anggota holding di bawah Bio Farma.
Honesti mengatakan, dengan upaya ini diharapkan terjadi penurunan ketergantungan impor di angka 75 persen di tahun depan. Artinya berkurang 15 persen dari kondisi saat ini sekitar 90 persen impor.
Namun, lanjut Honesti, upaya ini tak hanya perlu dilakukan oleh perusahaan farmasi pelat merah saja melainkan juga oleh ratusan perusahaan farmasi swasta lainnya. Apalagi, mengingat jumlah produsen farmasi di dalam negeri jumlahnya mencapai 200 perusahaan. Sedangkan, perusahaan BUMN ini hanya menguasai 7 sampai 10 persen market share secara nasional.
Selain itu, kata Honesti, dibutuhkan juga upaya pemerintah untuk mendorong pengembangan industri kimia dasar di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan bahan baku farmasi.
Honesti menjelaskan, pihaknya sudah membuat roadmap atau peta jalan menganai hal tersebut. Ia mengatakan, pemerintah perlu memotivasi industri kimia dasar untuk mulai memikirkan bahan baku farmasi.
BUMN Tak Terlibat
Terkait dengan mafia pengadaan alkes dan obat-obatan, Honesti meyakini, bahwa BUMN farmasi tidak akan bertindak sebagai mafia alat kesehatan dan obat-obatan, karena memiliki fungsi agent of development.
Sebagai contoh masker, kata Honesti, satu-satunya perusahaan yang masih menjaga harga masker pada harga yang sama adalah Kimia Farma, dan pembeliannya pun ada pembatasannya.
Sampai akhir Maret, lanjutnya, Kimia Farma masih menjual masker pada harga Rp2.000 per lembar. Menjaga harga adalah upaya agar masyarakat mendapat suplai masker yang cukup. Namun, karena pihaknya hanya bertindak sebagai distributor dan bukan produsen, maka pihaknya berharap ada kepastian suplai dari prinsipal.
"Kami usahakan untuk melakukan deal langsung dengan pabrikan. Kami dibantu oleh teman-teman KBRI di China, India dan beberapa negara asal alkes berteknologi tinggi," jelasnya.