Bagikan:

JAKARTA - Di tengah pandemi virus corona atau COVID-19 yang kian meluas penyebarannya, muncul isu adanya mafia alat-alat kesehatan (Alkes) dan obat-obatan. Para mafia itu disebut tidak memikirkan kemandirian industri nasional.

Isu ini pertama kali muncul, setelah Menteri BUMN Erick Thohir mengungkap 90 persen bahan baku produksi alkes dan obat diimpor. Sementara menurut dia, Indonesia bisa memproduksi sendiri. Ia meminta, semua pihak untuk tidak membuat negara yang besar ini terus menerus bergantung pada impor.

Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir angkat bicara mengenai isu tersebut. Menurut dia, permasalahan mafia alkes dan obat hadir selama pandemi COVID-19 dikarenakan permintaan yang lebih tinggi daripada pasokannya.

"Ada kelangkaan supply. Apalagi juga proses ekspor impor tidak berjalan mulus, karena masing-masing negara melakukan pembatasan," tuturnya, saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI secara virtual, di Jakarta, Selasa, 21 April.

Sementara itu, kata Honesti, tingginya kebutuhan impor bahan baku disebabkan karena tak tersedianya bahan baku dasar obat-obatan di Indonesia. Menurut dia, umumnya bahan baku dasar ini diproduksi oleh perusahaan kimia dasar. Tetapi, masalahnya bahan baku ini tak diproduksi di Indonesia.

"Bahan baku memang diakui lebih dari 90 persen impor, masalah bahan baku tidak murni hanya farmasi karena permasalahannya di hulu, ini dasar yang berkepentingan. Yang kami bikin adalah active ingredient, bahan bakunya kimia dasar. Kalau di luar sudah established, beda dengan Indonesia," jelasnya.

Honesti mengatakan, untuk mengatasi masalah mafia alkes dan obat-obatan di Indonesia, perusahaan yang masuk dalam holding BUMN farmasi menegaskan akan memulai menekan impor bahan baku obat-obatan pada 2021 mendatang. Langkah yang diambil perusahaan BUMN adalah dengan memproduksi sendiri bahan baku obat-obatan yang diperlukan.

Perusahaan farmasi pelat merah, kata Honesti, melakukan inisiatif untuk membangun pabrik bahan baku sendiri melalui PT Kimia Farma Tbk (KAEF). Kimia Farma dan PT Indofarma Tbk (INAF) masuk dalam anggota holding di bawah Bio Farma.

Honesti mengatakan, dengan upaya ini diharapkan terjadi penurunan ketergantungan impor di angka 75 persen di tahun depan. Artinya berkurang 15 persen dari kondisi saat ini sekitar 90 persen impor.

Namun, lanjut Honesti, upaya ini tak hanya perlu dilakukan oleh perusahaan farmasi pelat merah saja melainkan juga oleh ratusan perusahaan farmasi swasta lainnya. Apalagi, mengingat jumlah produsen farmasi di dalam negeri jumlahnya mencapai 200 perusahaan. Sedangkan, perusahaan BUMN ini hanya menguasai 7 sampai 10 persen market share secara nasional.

Selain itu, kata Honesti, dibutuhkan juga upaya pemerintah untuk mendorong pengembangan industri kimia dasar di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan bahan baku farmasi.

Honesti menjelaskan, pihaknya sudah membuat roadmap atau peta jalan menganai hal tersebut. Ia mengatakan, pemerintah perlu memotivasi industri kimia dasar untuk mulai memikirkan bahan baku farmasi.

"KPI (key performance index) jangan ke farmasi BUMN saja tapi semua farmasi Indonesia minimal bisa produksi bahan baku untuk produknya sendiri, itu bisa juga dilakukan kolaborasi. Kalau BUMN saja meski effort full speed di 2021 cuma bisa kurang (dari) 90 persen jadi 75 persen. Jadi untuk bisa 0 persen, butuh kerja sama pemain lain untuk produksi bahan baku," tuturnya.

BUMN Tak Terlibat

Terkait dengan mafia pengadaan alkes dan obat-obatan, Honesti meyakini, bahwa BUMN farmasi tidak akan bertindak sebagai mafia alat kesehatan dan obat-obatan, karena memiliki fungsi agent of development.

Sebagai contoh masker, kata Honesti, satu-satunya perusahaan yang masih menjaga harga masker pada harga yang sama adalah Kimia Farma, dan pembeliannya pun ada pembatasannya.

Sampai akhir Maret, lanjutnya, Kimia Farma masih menjual masker pada harga Rp2.000 per lembar. Menjaga harga adalah upaya agar masyarakat mendapat suplai masker yang cukup. Namun, karena pihaknya hanya bertindak sebagai distributor dan bukan produsen, maka pihaknya berharap ada kepastian suplai dari prinsipal.

"Kami usahakan untuk melakukan deal langsung dengan pabrikan. Kita dibantu oleh teman-teman KBRI di China, India dan beberapa negara asal alkes berteknologi tinggi," jelasnya.

DPR Minta Pengadaan Alkes dan Obat Transparan

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VI Aria Bima menyoroti masalah mafia alat kesehatan. Dalam rapat dengar pendapat bersama BUMN Farmasi, dia meminta penjelasan secara transparan proses pengadaan dan distribusi alat kesehatan agar tidak ada celah buat mafia.

Aria juga meminta, agar BUMN Farmasi menyiapkan langkah antisipasi untuk menghindari mafia alkes dan obat-obatan ini. Apalagi, menurut dia, sangat tidak etis jika ada yang memanfaatkan situasi di tengah bencana wabah virus yang terjadi di dalam negeri ini.

"Rapat ini menginginkan adanya jawaban kepastian dari direktur holding mengenai bagaimana usaha untuk mengatasi ini yang tentunya diturunkan ke masing-masing anak perusahaannya," tuturnya.

Transparansi mengenai pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan ini, kata Aria, guna memberikan informasi kepada masyarakat. Sebab, isu ini juga merugikan DPR.

"Supaya masyarakat tahu. Bahkan dituduhkan juga itu berkolaborasi dengan politisi. Komisi VI sama sekali tidak ikut-ikut mengenai masalah pengadaan pengadaan alat kesehatan ini ya," katanya.