Bagikan:

JAKARTA - Setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menduga ada mafia yang menyebabkan Indonesia bergantung pada barang impor penyediaan alat kesehatan dan obat selama pandemi COVID-19, kini, publik menunggu langkah lanjutan dari sang menteri.

Peneliti ekonomi dari Institute for Develompent of Economics and Finance (Indef) Abra Tallatov bahkan mengatakan, setelah membeberkan adanya dugaan tersebut, Erick Thohir harusnya melakukan pelaporan kepada aparat hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebab, jangan sampai dugaan serius semacam ini hanya panas di awal kemudian menguap di akhir. Persis seperti kasus lain yaitu dugaan penyelewengan jabatan dan penyelundupan di tubuh perusahaan BUMN, PT Garuda Indonesia.

"Ya (harus dibawa ke penegak hukum lain seperti KPK). Persoalannya yang kami kritisi dengan Pak Erick ini dari awal sampai sekarang lebih banyak gimik saja. Dari kasus Garuda, dari awal kan banyak hal yang dibongkar tapi dalam perjalanannya menguap begitu saja enggak ada kelanjutannya," kata Abra kepada VOI saat dihubungi lewat sambungan telepon, Senin, 20 April.

Diketahui, PT Garuda Indonesia beberapa waktu lalu memang sempat tersandung skandal. I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra alias Ari Askhara dipecat karena ketahuan menyelundupkan satu unit sepeda motor besar Harley Davidson dan sepeda lipat Brompton. PT Garuda merupakan perusahaan milik negara di bawah Kementerian BUMN.

Meski ramai, namun kini kelanjutan dari kasus tersebut tidak terdengar lagi. Bahkan, belakangan kasus ini malah bergeser dari kasus penyelundupan menjadi isu pencemaran nama baik. Hal ini terjadi setelah seorang pramugari maskapai Garuda Indonesia, melaporkan sebuah akun anonim karena menganggap dirinya adalah simpanan salah satu petinggi perusahaan tersebut.

Berkaca dari kejadian itu, Abra justru khawatir tudingan mafia alkes dan farmasi merupakan gimmick baru ala Erick Thohir yang hanya menunjukkan masalah tapi nirsolusi.

Sehingga, untuk menepis anggapan Menteri BUMN hanya melemparkan gimik lewat tudingan mafia tersebut, harusnya Erick membuktikan secara langsung tudingannya itu. Sebab, bukan tak mungkin, apa yang dia sampaikan nantinya berujung pada sentimen negatif para pengusaha.

"Kalau mereka (pengusaha) impornya sudah legal, izinnya legal, nanti yang aneh mereka, investor ini malah bertanya kok mereka sudah melakukan perizinan betul malah ada tudingan. Ini malah dikhawatirkan akan menciptakan sentimen negatif pada investor, kok pemerintah malah mengumbar di depan publik," jelasnya.

Daripada mengumbar tudingan, sebenarnya ada beberapa cara jika Erick ingin industri alat kesehatan dan farmasi di Indonesia tak tergantung pada publik. Salah satu caranya adalah dengan melakukan riset dan pengembangan.

Sebab, melawan ketergantungan impor bisa dilakukan dengan adanya kemandirian dari dalam yang dibuktikan dengan alokasi anggaran riset di bidang kesehatan dan farmasi.

"Kalau misalnya anggaran risetnya terutama riset kesehatannya enggak signifikan, ya itu menunjukkan kalau istilah ini hanya basa-basi saja mengatakan kita diganggu di bidang farmasi," tegas Abra.

Selain melalui riset dan pengembangan, cara lain lepas dari ketergantungan impor adalah dengan mengoptimalkan perusahaan BUMN yang bergerak di bidang kesehatan dan farmasi.

Kalaupun ada kendala, Erick sebagai Menteri BUMN, harusnya mengungkap ganjalan apa yang membuat industri farmasi dan alat kesehatan di Indonesia bergantung dengan bahan impor hingga 90 persen dan bukan malah menuding ada mafia impor dalam industri tersebut.

"Kalau menurut saya enggak bisa kita menyalahkan mafianya kalau BUMN sendiri tak transparan dengan persoalan apa yang mereka hadapi," ujar Abra.

"Apakah dari sisi teknologi, pengetahuannya, atau dari sisi kendala lain misalnya tidak berdaya saing. Misalnya, produksi dalam negeri tidak kompetitif harganya dengan obat di luar, nah, itu harus diungkap juga," imbuh dia.

Berkaitan soal desakan agar Kementerian BUMN melakukan pelaporan ke penegak hukum seperti KPK, sepertinya, lembaga ini memang belum berpikir sampai ke sana. Sebab, Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri mengatakan hingga saat ini belum ada pelaporan terkait pengadaan barang dan jasa alat kesehatan terkait dengan penanggulangan pandemi COVID-19.

"Sejauh ini setelah kami melakukan pengecekan ke bagian pengaduan masyarakat belum ada laporan," kata Ali kepada wartawan saat dikonfirmasi.

Meski belum ada pelaporan, Ali mengatakan, KPK akan tetap berkomitmen untuk terus mengawal pelaksanaan anggaran dan pengadaan barang dan jasa terkait penanganan COVID-19 di Indonesia.

"Di samping itu KPK akan tegas terhadap pihak manapun yang bermain terkait dengan pengadaan barang dan jasa terutama terhadap kebutuhan alat kesehatan terlebih untuk situasi dalam penanganan virus corona saat ini," tegasnya.

Jika nantinya masyarakat ataupun elemen lainnya tahu soal adanya informasi dugaan tindak korupsi, lembaga antirasuah ini meminta agar mereka tak ragu untuk melapor. "KPK tentu akan melakukan penelaahan dan mendalami tiap laporan dari masyarakat yang masuk," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan ada mafia yang sengaja membuat Indonesia mengimpor bahan baku alat kesehatan dan obat-obatan di Indonesia.

Erick mengatakan mafia alkes dan obat-obatan bisa saja memanfaatkan kondisi negara yang saat ini tengah memerangi pandemi COVID-19. Sehingga, mafia semacam ini harusnya dilawan agar tak ada praktek kotor yang menyulitkan negara di masa seperti sekarang.

"Kalau kita enggak gotong royong, memangnya bangsa lain peduli? Jangan semuanya, ujung-ujung duit terus lalu kita terjebat short term policy di dominasi mafia. Kita harus lawan itu," kata Erick dalam siaran langsung di akun miliknya @erickthohir.

Dia kemudian mengatakan, saat ini ada 90 persen alat kesehatan dan bahan baku obat yang diimpor dari luar negeri. Sehingga, sangat mungkin mafia alkes dan obat-obatan ikut campur dalam kegiatan import tersebut.

"Mohon maaf kalau menyinggung beberapa pihak, jangan kita ini selalu terjebak praktek kotor," tegasnya.