JAKARTA - Dalam politik pemerintahan, istilah elektoral kerap kali kita dengarkan. Elektoral dalam demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemilihan umum (pemilu) yang diikuti seluruh lapisan masyarakat untuk memilih wakilnya di parlemen atau kepala pemerintahan.
Pengertian politik elektoral
Seorang ahli, Miriam Budiardjo berpendapat bahwa politik merupakan suatu usaha untuk mencapai sebuah kehidupan masyarakat yang lebih baik. Senada dengan hal tersebut, Peter Merkl juga menjelaskan bahwa politik dalam bentuk yang paling baik ialah usaha dalam mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan.
Sementara itu, elektoral atau pemilihan umum merupakan bagian dari sistem politik. Dengan demikian, politik elektoral dapat dimaknai sebagai salah satu sarana atau cara untuk menetapkan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam sistem pemerintahan.
G.J. Wolhoff memberi definisi pemilu dengan memulainya dari konsep demokrasi. Demokrasi dipahami sebagai pemerintahan rakyat. Pemerintahan untuk rakyat, dan oleh rakyat sepenuhnya.
Sejarah politik elektoral
Salah satu argumen yang menjadi alasan dari sistem politik elektoral ini adalah bahwa orang Amerika tinggal di wilayah yang luas dan tentunya akan kekurangan informasi yang cukup untuk melakukan pemilihan secara langsung dan cerdas terhadap kandidat presiden.
Pada tahun 1780-an, ketika kehidupan jauh lebih bersifat lokal, pertimbangan tersebut menjadi relevan. Namun, kemunculan awal partai presiden nasional menjadikan pertimbangan tersebut sebagai barang usang dengan menghubungkan kandidat presiden ke daftar kandidat lokal dan platform nasional, yang mengungkapkan apa saja yang diperjuangkan oleh para kandidat kepada pemilih.
Meskipun para Perumus Philadelphia tidak mengantisipasi kehadiran sistem partai kepresidenan nasional, setelah pemilihan umum 1800-1801, Amandemen ke-12 —yang diusulkan pada 1803 dan diratifikasi setahun kemudian— dibingkai dengan sistem kepartaian tersebut. Dalam pemilihan itu, dua partai presidensial yang belum sempurna —Federalis yang dipimpin oleh John Adams dan Republik yang dipimpin oleh Thomas Jefferson— mulai terbentuk dan bertarung.
Memang pada akhirnya Jefferson menang, tetapi hanya setelah krisis berkepanjangan yang disebabkan oleh beberapa gangguan pada mesin pemilihan perumus. Secara khusus, pemilih Partai Republik tidak memunyai sistem atau metode formal untuk menetapkan Jefferson sebagai presiden dan Aaron Burr sebagai wakil presiden.
Barulah selanjutnya beberapa politikus mencoba memanfaatkan kebingungan tersebut. Saat memasuki amandemen ke-12, setiap partai berkesempatan menunjuk satu calon presiden dan calon wakil presiden yang terpisah.
Amandemen yang dimodifikasi pada proses pemilihan mengubah kerangka kerja perumus. Dan memungkinkan pemilihan presiden di masa depan sebagai urusan populis dan partisan yang menunjukkan dua pasangan yang bersaing. Sistem inilah yang hingga saat ini tetap berlaku.
Dampak negatif demokrasi elektoralisme hari ini
Demokrasi elektoral atau yang sering disebut sebagai pesta demokrasi dalam pemilihan umum anggota dewan, mulai dari daerah hingga pusat, dan juga pada Pemilu presiden dan wakil presiden ini menghadirkan sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji.
Fenomena tersebut menunjukkan adanya perhatian yang cukup besar, berupa pengerahan energi moril dan materil dari masyarakat dan elit yang memiliki kepentingan langsung dalam pemilihan ini. Dan hal tersebut menimbulkan istilah yang disebut sebagai “elektoralisme”.
Istilah elektoralisme digunakan untuk mendeskripsikan suatu kondisi dan praktik demokrasi yang didominasi oleh urusan elektoral dan mengorbankan tatanan nilai sosialkultural hanya demi kepentingan menang-kalah dalam Pemilu.
Gejala tersebut diungkapkan oleh Vedi R Hadiz (2005) dalam Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Suharto (Jakarta; LP3ES) bahwa dewasa ini terdapat ciri-ciri baru yang muncul dalam politik Indonesia setelah Suharto lengser.
Elektoralisme menjadi jauh lebih penting, seperti halnya partai politik, MPR dan DPR/DPRD sebagai sebuah arena persaingan politik. Ciri-ciri baru yang hadir tersebut memang sedang menjadi fenomena luar biasa di Indonesia pada hari ini.
Bahkan jauh setelah Pemilu presiden pertama yang demokratis pada 1999 yang memberi fokus pada demokrasi dengan mengutamakan pemilu berkala dan pemenuhan hak-hak politik warga negara.
Pemilu menjadi sebuah fenomena yang rumit di masyarakat kalangan bawah karena permainan politik dan kebencian yang disebarkan, direncanakan, diarahkan, dan dikelola sedemikian rupa lewat media sosial dan jejaring teknologi yang bergerak demikian cepat agar menjadi viral.
Contoh politik elektoral
Saat orang-orang Amerika Serikat berangkat ke TPS, pada dasarnya mereka memilih sekelompok pejabat yang akan menduduki electoral college. Orang-orang ini disebut electors, dan bertugas memilih presiden serta wakil presiden.
Amerika memberikan suara berdasarkan negara bagian di electoral college, bukan dengan suara populer. Setiap negara bagian bernilai sejumlah pemilih kemudian berkumpul di "electoral college".
Kandidat presiden memungkinkan untuk kehilangan suara, tetapi justru dapat mengungguli suara elektoral. Hal ini disebabkan oleh pola pemungutan suara dan demografis yang berubah-ubah.
Kasus semacam ini pernah dilakukan Trump pada 2016 dan George W. Bush pada tahun 2000. Demikianlah pengertian mengenai politik elektoral, sejarah, dampak yang dihasilkan, dan juga contoh yang pernah terjadi.
Ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI.id, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!