Bahaya Paparan Konten Teror Bagi Anak Jadi Alasan Kenapa Video Itu Harus Berhenti di Kamu
Ilustrasi (Sumber: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Video ledakan bom di Gereja Katedral Makassar yang terjadi kemarin lusa masih terngiang di benak orang banyak. Beruntunglah mereka yang belum sempat menonton videonya. Sebab, ternyata terpapar video semacam itu bisa menimbulkan dampak psikologis. Apalagi untuk anak-anak. 

Video peristiwa ledakan bom bunuh diri di gereja Katolik Makassar, Sulawesi Selatan itu viral sejak Minggu 29 Maret. Khawatir menyebar lebih luas, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengimbau kepada masyarakat untuk tidak mengunggah atau menyebarkan lagi video kejadian tersebut. 

Pasalnya, penyebaran video tersebut berpotensi menimbulkanketakutan atau kekhawatiran masyarakat. "Kami kembali mengimbau kepada masyarakat untuk tidak menyebarluaskan konten seperti itu dan bersama-sama menangkal paham radikalisme-terorisme baik di ruang fisik maupun ruang digital," kata Juru Bicara Kominfo, Dedy Permadi, dalam keterangan pers, Senin. 

Kita semua mafhum konten yang beredar akibat peristiwa teror membawa pengaruh buruk. Dan dampaknya bahkan lebih berbahaya lagi bila dikonsumsi anak-anak. Kepala Divisi Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra, sampai mengimbau agar anak-anak dilindungi dari konten semacam itu. 

Ilustrasi (Sumber: Unsplash)

Di sinilah peran orang tua untuk mengawasi anaknya terpapar konten semacam itu begitu penting. "Untuk itu penting orang tua menghindari dari informasi yang tidak layak di konsumsi anak," kata Jasra lewat aplikasi pesan WhatsApp yang diterima VOI

Video yang kadung menyebar di media sosial itu dikhawatirkan dapat dengan mudah diakses anak-anak. Apalagi kata Jasra saat ini anak-anak trennya memiliki akun media sosial lebih dari satu. "Bayangkan bila semua akun itu mengundang reaksi anak."

Sebetulnya, konstitusi sudah menjamin perlindungan paparan konten tak layak bagi anak. Kata Jasra, Undang Undang Perlindungan Anak mengingatkan bahwa dalam situasi seperti ini, anak anak tidak boleh dibiarkan tanpa perlindungan jiwa dalam Pasal 76H.

Lalu, apa bahayanya bagi anak-anak yang kadung mengonsumsi konten kekerasan yang dilakukan oleh teroris?  

Dampaknya

Menurut Jasra, seringkali peredaran foto, video, dan pernyataan yang tidak layak massif beredar di medsos. Menurutnya hal inilah yang menjadikan anak-anak lebih bertumbuh ke arah penyebaran kebencian ke orang lain. "Bahkan ke teman-temannya sendiri yang ikut menyikapinya."

Sedangkan dari sisi psikologis, menurut psikiater yang dikutip Halodoc, mengonsumsi foto-foto atau video korban dari sebuah ledakan apalagi yang tidak disensor bisa menyebabkan ketakutan dan menimbulkan gangguan kecemasan. Selain itu, efeknya juga bisa membuat orang risih. Alasannya, gambar-gambar korban aksi teror bakal mengoyak rasa kemanusiaan seseorang.

Lebih parah lagi, seseorang yang terpapar konten mengerikan dari tindakan teror dapat menimbulkan secondary trauma. Penyebaran foto-foto atau video korban juga bisa melunturkan empati karena adanya proses pembiasan.

Ilustrasi (Sumber: Unsplash)

Dampak menimbulkan trauma akibat terpapar konten dari kejadian teror ini juga diamini Psikolog Tika Bisono. "Pusat trauma betul, trauma terorisme, trauma jihadisme," kata Tika dihubungi VOI.

Menurut Tika bagi anak-anak yang melihat konten tersebut, akan trauma kepada terorisme. "Jadi dia waspada, makin sadar bahwa terorisme harus dilawan."

Apalagi menurut Tika traumati bisa jadi lebih bisa mendera kepada anak-anak Nasrani. "Apalagi ini bentar lagi mau Paskah kan."

Untuk itu, Tika mengimbau pada perayaan Paskah nanti, pihak kepolisian harus lebih siaga melindungi masyarakat. "Ini harus ekstra pengamanan," tegasnya. 

Cara mengatasinya

Menurut Tika salah satu cara memerangi trauma itu harus melawan rasa takut. Sebab dengan begitu, seseorang bisa membentuk pertahanan atas sebuah paparan. 

"Apa yang harus dilakukan adalah harus ada ajakan yang masif untuk masyarakat berani melawan terorisme. Gak boleh takut," ujar Tika. 

Meski begitu, Kepala Divisi Pengawasan Monitoring dan Evaluasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra, mengingatkan berbagai pihak untuk mengambil posisi menenangkan dan mendamaikan. Musababnya, Indonesia tidak mewarisi trauma kepada kepada generasi penerus. 

"Agar Indonesia tidak mewarisi trauma kepada generasinya. Agar generasinya tidak diwarisi kebencian kebencian yang diajarkan," kata Jasra. 

Jasra menyarankan agar lebih baik menumbuhkan kasih sayang yang memang sudah menjadi fitrah dan anugerah dari Sang Pencipta kepada setiap anak, yang dapat mendukung tumbuh dan kembangnya. Untuk mendalami bagaimana mengoptimalkan tumbuh kembang anak di masa keemasannya, silakan membaca Tulisan Seri "Menyepuh Masa Emas Anak."

Kembali ke Jasra, menurutnya sikap yang menumbuhkan kepekaan terhadap kemanusiaan harus lebih dominan dimunculkan orang tua. "Guna mengedukasi dalam memutus mata rantai kekerasan," pungkasnya.

Bernas lainnya