JAKARTA – Istilah Asian value mendadak ramai diperbincangkan warganet. Awalnya dari pernyataan Arie Putra, co-founder Total Politik, saat berdiskusi dengan Pandji Pragiwaksono. Namun istilah ini sebenarnya sudah lama digunakan sejumlah politisi.
Asian value menjadi trending topic Twitter beberapa waktu lalu, ketika Arie dituding pro dinasti politik karena menyebut hal itu adalah bagian Asian value dan human right.
Dalam siniar tersebut, Pandji bertanya kepada Arie tentang pandangannya mengenai politik dinasti yang sedang terjadi di Indonesia, termasuk di lingkaran kekuasaan Presiden Joko Widodo.
Menurut pandangan Pandji, politik dinastik bisa memberi dampak negatif termasuk merusak demokrasi dan menganggu jalannya pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme lantaran adanya penyalahgunaan kekuasaan.
Tapi di sisi lain, Arie Putra menganggap politik dinasti adalah human rights atau hak asasi manusia, sesuai dengan Asian value yang ia anut. Pernyataan Arie memicu reaksi dari warganet, yang kebanyakan tidak sependapat dengan sang pembawa acara.
Asian value menjadi sangat populer, bahkan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga ikut-ikutan menggunakan istilah ini di akun X-nya.
Bertentangan dengan Politik Barat
Secara harfiah, Asian value mengacu pada nilai-nilai budaya dan tradisi yang dianggap menjadi ciri khas masyarakat Asia. Nilai-nilai ini sering dikaitkan dengan konfusianisme seperti hormat kepada orang tua dan leluhur, menjaga hubungan baik dengan sesame anggota masyarakat, bekerja keras dan hemar, serta menuntut ilmu dan pengetahuan sebagai kunci kesuksesan.
Sementara dalam konteks politik, Asian value adalah ideologi yang mengedepankan nilai-nilai disiplin, kolektif, kerja sama, berhemat, dan prestasi pendidikan. Asian value dianggap berbeda dengan politik Barat yang cenderung individualis.
Mengutip Britannica, ensiklopedia umum berbahasa Inggris, Asian value merupakan rangkaian nilai-nilai yang diperkenalkan pada akhir abad ke-20 oleh sejumlah pemimpin negara atau politik di Asia, seperti Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew.
Para pendukung Asian value biasanya menyatakan bahwa pesatnya perkembangan perekonomian di Asia Timur pada periode pasca-Perang Dunia II disebabkan oleh kesamaan warisan Konfusianisme.
Konfusianisme sendiri dapat diartikan sebagai sistem pemikiran yang berasal dari Tiongkok kuno. Pemikiran ini bisa digambarkan sebagai tradisi, filsafat, agama, teori, pemerintahan, atau cara hidup.
Selain itu, pendukung Asian value juga menyatakan prinsip-prinsip politik Barat tidak sesuai dengan Asia Timur karena mereka mendorong individualisme dan legalisme yang berlebihan, yang mengancam atau merusah tatanan sosial dan menghancurkan dinamisme ekonomi.
Kendati demikian, perdebatan Asian value juga terjadi di masyarakat Asia itu sendiri. Perubahan ekonomi dan sosial yang cepat di Asia Timur menimbulkan berbagai gerakan menentang, utamanya dari mereka yang mengutamakan HAM, pertumbuhan individualisme, dan demokratisasi.
Sisi Negatif Asian Value
Melansir United Nations University, kritikus menganggap Asian value sering digunakan untuk membenarkan pemerintahan otoriter dan menekan oposisi. Krisis keuangan yang melanda Asia pada 1997-1998 menunjukkan kelemahan dalam model ekonomi yang didukung nilai-nilai ini.
Asian value juga dianggap sebagai alat propaganda untuk untuk melegitimasi rezim otoriter dan membungkam perbedaan pendapat. Kritik mengenai Asian value salah satunya dimuat dalam jurnal European Journal of Humanities and Social Sciences (2023) oleh Yuniarti dan Rendy Wirawan.
Dituturkan Yunarti dan Rendy, Asian value adalah kumpulan nilai-nilai budaya yang mencakup komunitarianisme, kekeluargaan, dan penghargaan terhadap otoritas, yang merupakan ciri khas dari masyarakat Asia.
Meski memiliki karakteristik yang mulia, di sisi lain, Asian value juga dianggap dapat "memfasilitasi" masyarakat untuk melakukan korupsi. Masyarakat Asia seringkali salah menggunakan nilai-nilai budaya mereka sebagai alasan untuk menyembunyikan tindakan korupsi.
BACA JUGA:
Sistem politik dan birokrasi di negara-negara Asia, baik yang demokratis maupun otoriter, turut serta dalam menciptakan masyarakat korup. Mereka memanfaatkan Asian value dalam praktik kehidupan politik seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dalam konteks sosial, Asian value sering disalahpahami dan disalahgunakan untuk melakukan tindakan korupsi, misalnya melalui pemberian hadiah. Hal ini membuat korupsi di Asia menjadi lebih sulit dilacak dan tidak pasti apakah suatu aktivitas tertentu merupakan tindakan korupsi atau tidak.